Dasar Hukum Penyandang Disabilitas Mental Sebagai Pemilih Dalam Pemilu

Dasar Hukum Penyandang Disabilitas Mental Sebagai Pemilih Dalam Pemilu


Pertanyaan :

Assalamualaikum wr.wb Pak, Saya ingin bertanya mengenai dasar hukum pemerintah membolehkan orang sakit jiwa ikut memilih ke TPS pada saat pemilu. Apakah benar ada aturan yang mengatakan seperti itu dan apa kira-kira dasarnya. Terima kasih. Nuraini. Padang.


Jawaban :

Terimakasih atas pertanyaan Ibu Nuraini.

Pertama, terlebih dahulu kami akan mendefenisikan istilah sakit jiwa atau gangguan jiwa. Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia Online, defenisi gangguan jiwa, sakit jiwa dan yang semisalnya didefenisikan dengan menggunakan padanan kata ‘gila’ yang berarti sakit ingatan (kurang beres ingatannya); sakit jiwa (sarafnya terganggu atau pikirannya tidak normal). Halaman website kesehatan alodokter.com mendefinisikan sakit jiwa adalah gangguan mental yang berdampak kepada mood, pola pikir, hingga tingkah laku secara umum. Seseorang disebut mengalami sakit jiwa, jika gejala yang dialami membuatnya tertekan dan tidak mampu melakukan aktivitas sehari-hari secara normal. Lebih lanjut dijelaskan, ciri-ciri orang yang mengalami sakit jiwa dapat berbeda-beda tergantung dari jenisnya. Terdapat banyak kondisi kesehatan yang dapat dikategorikan sebagai sakit jiwa. Tiap kelompok dapat terbagi lagi menjadi jenis-jenis yang lebih spesifik sebagai contoh antara lain: gangguan kecemasan, gangguan kepribadian, gangguan psikologis, gangguan pasca-trauma, dan gangguan disosiatif. Secara hukum, Pasal 1 angka 1 jo. Pasal 4 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas menyatakan orang yang mempunyai keterbatasan atau gangguan mental (sakit jiwa) merupakan termasuk kategori penyandang disabilitas mental. Hal ini bersesuaian dengan aturan yang terdapat dalam UU No. 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas (Convention on the Rights of Persons with Disabilities) yang menyatakan bahwa Orang dengan gangguan kejiwaan (penyandang disabilitas mental) adalah bagian dari kelompok masyarakat penyandang disabilitas.

Kedua, mengenai hak memilih dalam pemilihan umum, dalam Pasal 5 UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu disebutkan Penyandang disabilitas yang memenuhi syarat mempunyai kesempatan yang sama sebagai Pemilih, sebagai calon anggota DPR, sebagai calon anggota DPD, sebagai calon Presiden/Wakil Presiden, sebagai calon anggota DPRD, dan sebagai Penyelenggara Pemilu’. Kemudian Pasal 75 ayat (2) UU Penyandang Disabilitas mengatur ‘Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib menjamin hak dan kesempatan bagi Penyandang Disabilitas untuk memilih dan dipilih’. Konstitusi Negara pada Pasal 28D ayat (1) UUD NRI 1945 menyatakan ‘Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum’. Berdasarkan pengertian tersebut, tidak membedakan hak setiap orang termasuk Penyandang disabilitas mental sebagai warga negara Indonesia (WNI) yang memiliki hak konstitusional yang sama dengan warga negara lainya sehingga wajib dihormati, dilindungi, dan dipenuhi negara. Selanjutnya didalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan menyatakan Penderita gangguan jiwa mempunyai hak yang sama sebagai warga negara.

Terakhir, berkaitan dengan bolehkah penyandang disabilitas mental (orang sakit jiwa) memilih dalam pemilu, pada hari ini peraturan perundang undangan pemilu tidak lagi mengatur larangan bagi penyandang disabilitas mental untuk ikut serta memilih dalam pemilu. Larangan terhadap penyandang disabilitas mental sebelumnya pernah diatur dalam Pasal 57 ayat (3) huruf a UU No. 8 Tahun 2015 tentang Perubahan atas UU Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU No. 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-Undang yang mengatakan “Untuk dapat didaftar sebagai Pemilih, warga negara Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi syarat: a. tidak sedang terganggu jiwa/ingatannya; dan/atau b. tidak sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyaikekuatan hukum tetap.” Namun ketentuan ini kemudian dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 oleh Mahkamah Konstitusi berdasarkan putusan No. 135/PUU-XIII/2015. MK dalam pertimbanganya menyatakan ketentuan frasa "tidak sedang terganggu jiwa atau ingatannya" dalam Pasal 57 ayat 3 huruf a UU Pilkada tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang frasa tersebut tidak dimaknai sebagai mengalami gangguan jiwa dan atau gangguan ingatan permanen dengan ketentuan surat atau pernyataan dari profesional bidang kesehatan jiwa.
MK turut mempertimbangakan perbedaan gangguan jiwa dan gangguan ingatan dengan tingkatan sesuai kondisi penderitanya.


Demikian jawaban kami. Semoga bermanfaat.

 

Tim Rubrik Hukum Miko Kamal & Associates