berkaca-dari-kasus-vloan-masyarakat-diminta-waspada-lakukan-pinjaman-online

Berkaca dari Kasus Vloan, Masyarakat Diminta Waspada Lakukan Pinjaman Online

14 Januari 2019       851        Admin

Bekerja sama dengan Kominfo, Satgas Waspada Investasi terus melakukan pencegahan dengan cara menghapus aplikasi fintech ilegal dan pemblokiran.

Pihak kepolisian menetapkan empat orang tersangka yang berprofesi sebagai debt collector dari PT VCard Technology Indonesia (Vloan). Empat tersangka ditangkap berdasar laporan korban atas aduan pornografi, pengancaman, asusila, pengancaman kekerasan dan menakut-nakuti melalui media elektronik. Vloan merupakan perusahaan yang bergerak di bidang usaha Fintech Per To Per (P2P) Lending atau pinjam meminjam secara online.

Peristiwa semacam ini sebenarnya sudah pernah disampaikan oleh korban aplikasi pinjaman online kepada Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta. Ironisnya, sebagian besar peminjam hanya memiliki pinjaman pokok senilai di bawah Rp2.000.000. Tindak pidana yang mereka alami menjadi “harga” yang sangat mahal yang harus mereka “bayar”.

LBH Jakarta juga mengungkapkan bahwa telah menerima 1.330 pengaduan korban pinjaman online dari 25 Provinsi di Indonesia. Berdasarkan pengaduan yang diterima, LBH Jakarta mendapati setidaknya 14 pelanggaran hukum dan hak asasi manusia yang dialami oleh korban aplikasi pinjaman online.

Pengacara Publik LBH, Jeanny Silvia Sari Sirait mengatakan bahwa sebagian besar masalah tersebut muncul karena minimnya perlindungan data pribadi bagi pengguna aplikasi pinjaman online. Hal ini terbukti dengan mudahnya penyelenggara aplikasi pinjaman online mendapatkan foto KTP dan foto diri peminjam.

Alih-alih verifikasi data peminjam, foto KTP dan foto diri peminjam kemudian disimpan, disebarkan bahkan disalahgunakan oleh penyelenggara aplikasi pinjaman online. Selain itu, LBH Jakarta juga mencatat bahwa penyelanggara aplikasi pinjaman online mengakses hampir seluruh data pada gawai peminjam. Hal ini menjadi akar masalah penyebaran data pribadi dan data pada gawai peminjam, tentu saja hal ini merupakan pelanggaran hak atas privasi.

Berdasarkan pengaduan yang diterima oleh LBH Jakarta, 48% pengadu menggunakan 1-5 aplikasi pinjaman online, namun ada juga pengadu yang menggunakan hingga 36-40 aplikasi pinjaman online. Banyaknya aplikasi pinjaman online yang digunakan oleh pengadu disebabkan karena pengadu harus mengajukan pinjaman pada aplikasi lain untuk menutupi bunga, denda atau bahkan provisi pada pinjaman sebelumnya.

“Hal ini kemudian menyebabkan pengguna aplikasi pinjaman online terjerat “lingkaran setan” penggunaan aplikasi pinjaman online,” kata Jeany seperti dikutip dari website LBH Jakarta.

Hal yang lebih buruk, 25 dari 89 penyelenggara aplikasi pinjaman oline yang dilaporkan kepada LBH Jakarta merupakan penyelenggara aplikasi yang terdaftar di OJK. Hal ini menunjukan bahwa terdaftarnya penyelenggara aplikasi pinjaman online di OJK, tidak menjamin minimnya pelanggaran.

Pengacara Publik LBH, Jeanny Silvia Sari Sirait mengatakan bahwa sebagian besar masalah tersebut muncul karena minimnya perlindungan data pribadi bagi pengguna aplikasi pinjaman online. Hal ini terbukti dengan mudahnya penyelenggara aplikasi pinjaman online mendapatkan foto KTP dan foto diri peminjam.

Alih-alih verifikasi data peminjam, foto KTP dan foto diri peminjam kemudian disimpan, disebarkan bahkan disalahgunakan oleh penyelenggara aplikasi pinjaman online. Selain itu, LBH Jakarta juga mencatat bahwa penyelanggara aplikasi pinjaman online mengakses hampir seluruh data pada gawai peminjam. Hal ini menjadi akar masalah penyebaran data pribadi dan data pada gawai peminjam, tentu saja hal ini merupakan pelanggaran hak atas privasi.

Berdasarkan pengaduan yang diterima oleh LBH Jakarta, 48% pengadu menggunakan 1-5 aplikasi pinjaman online, namun ada juga pengadu yang menggunakan hingga 36-40 aplikasi pinjaman online. Banyaknya aplikasi pinjaman online yang digunakan oleh pengadu disebabkan karena pengadu harus mengajukan pinjaman pada aplikasi lain untuk menutupi bunga, denda atau bahkan provisi pada pinjaman sebelumnya.

“Hal ini kemudian menyebabkan pengguna aplikasi pinjaman online terjerat “lingkaran setan” penggunaan aplikasi pinjaman online,” kata Jeany seperti dikutip dari website LBH Jakarta.

Hal yang lebih buruk, 25 dari 89 penyelenggara aplikasi pinjaman oline yang dilaporkan kepada LBH Jakarta merupakan penyelenggara aplikasi yang terdaftar di OJK. Hal ini menunjukan bahwa terdaftarnya penyelenggara aplikasi pinjaman online di OJK, tidak menjamin minimnya pelanggaran.

Di sisi lain, Tongam meminta masyarakat untuk lebih berhati-hati dalam melakukan kegiatan fintech lending. Tongam meminta masyarakat untuk menghindari fintech yang tidak terdaftar di OJK. Masyarakat harus cek dan ricek sebelum melakukan pinjaman online.

Selain itu, Satgas Waspada Investasi juga mengharapkan pelaku-pelaku fintech ilegal tidak melakukan usaha ilegalnya, dengan cara melakukan pengurusan perizinan sehingga bisa beroperasi secara legal di Indonesia. Pihaknya juga terus melakukan upaya pencegahan dengan memonitor dan menghapus aplikasi fintech ilegal melalui Kominfo.

“Jadi tugas ada dua pencegahan dan penindakan. Pada awalnya kita memang ada pertemuan dengan pelaku fintech ilegal, tapi karena banyaknya para pelaku yang tidak berada di Indonesia dan hanya perwakilan, jadi kita juga tidak datang semua karena mereka juga menyamarkan alamat perusahaan, pengurusnya. Kenapa begitu? Karena memang tujuannya adalah melakukan kegiatan-kegiatan yang ilegal,” pungkasnya.

Sumber: hukumonline.com