catatan-problematika-perizinan-dan-investasi-di-tahun-2018

Catatan Problematika Perizinan dan Investasi di Tahun 2018

02 Januari 2019       665        Admin

Pungli menjadi masalah utama dalam perizinan dan investasi. Masalah kerap terulang tiap tahun.

Investasi merupakan salah satu elemen penting dalam pertumbuhan ekonomi. Banyak negara yang kemudian memberikan kemudahan berinvestasi guna menyokong pembangunan. Berbagai macam insentif pun ditawarkan. Namun satu hal utama yang paling menarik investasi masuk adalah kemudahan berusaha dan sektor perizinan yang tidak berbelit-belit.

Di Indonesia, perizinan justru menjadi penghambat utama masuknya investasi. Birokrasi yang terlalu panjang, waktu yang tidak sedikit, biaya dan ditambah banyaknya pungutan tak resmi, membuat investor pikir-pikir untuk menanamkan modal di Indonesia. Masalah-masalah ini membuat iklim investasi menjadi tidak sehat dan terus berulang dari tahun ke tahun.

Pemerintah menyadari akan hal itu. Apalagi pemerintahan era Presiden Joko Widodo yang fokus terhadap infrastruktur, jelas membutuhkan banyak investasi masuk ke dalam negeri. perbaikan demi perbaikan perizinan pun dilakukan. Misalnya saja pelayanan perizinan tiga jam yang pernah dilakukan oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) beberapa tahun lalu.

Upaya lain yang dilakukan pemerintah adalah mengeluarkan rangkaian paket kebijakan ekonomi yang bertujuan untuk menarik investasi dan mempermudah perizinan di Indonesia. Hingga tahun 2018, pemerintah tercatat sudah mengeluarkan 16 paket kebijakan. Disertai dengan deregulasi-deregulasi peraturan yang dianggap menjadi “biang kerok” rumitnya pengurusan perizinan.

Di awal tahun 2018, BKPM mencatat ada lima keluhan investor soal hambatan investasi. Direktur Fasilitas Promosi Daerah Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Husen Maulana pernah menyampaikan bahwa dua persoalan pertama yang menjadi keluhan investor adalah inkonsistensi peraturan dan pajak. Sementara tiga persoalan lainnya adalah kualitas tenaga kerja, ketersediaan lahan dan hambatan izin pembangunan, serta kualitas infastruktur.

Hal senada juga disampaikan oleh Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Hariyadi Sukamdani. Hariyadi menilai tingginya PPh Badan menjadi penghambat daya siang Indonesia. Ia meminta pemerintah untuk menurunkan PPh Badan menjadi 17 persen. Jika merujuk kepada UU No. 36 Tahun 2008 mengenai PPh, tariff pajak yang dikenakan terhadap perusahaan adalah sebesar 25 persen.

Angka tersebut, lanjut Hariyadi, cukup tinggi. Penurunan tariff PPh ini, lanjutnya, berkaitan dengan saing ekonomi di Indonesia. “Dengan pajak yang lebih rendah, kami harapkan dana ini dapat diputar bagi perusahaan karena pajak merupakan redistribusi pendapatan,” katanya.

Terlepas dari persoalan tersebut, sebenarnya pemerintah pernah mengeluarkan peraturan untuk mempermudah inestasi masuk ke Indonesia, yakni Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 91 Tahun 2017 tentang Percepatan Pelaksanaan Berusaha. Aturan main di dalam Perpres ini bertujuan untuk memperlancar perizinan untuk pengusaha, termasuk bagi Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) setelah mendapat persetujuan penanaman modal, serta percepatan pengurusan perizinan di daerah. Contohnya, untuk pendaftaran usaha baru, kini proses pendaftaran di Jakarta hanya membutuhkan waktu 22 hari dibandingkan 181 hari pada tahun 2004.

Perpres ini diterbitkan dalam rangka untuk memperbaiki ranking Ease of Doing Business  (EoDB) di Indonesia. Targetnya adalah Indonesia masuk ke ranking 40 besar. Khusus di Tahun 2018, ranking EoDB Indonesia berada pada peringkat 72, naik 19 angka dari peringkat EoDB di tahun 2017 yang berada pada posisi 91. Sayangnya, ranking EoDB Indonesia turun satu peringkat di tahun 2019 menjadi posisi 73.

Tetapi aturan tersebut tak sedemikian rupa dapat memperbaiki iklim investasi di Indonesia. Meski telah disosialisasikan ke daerah dengan harapan mempermudah perizinan, tetapi pada kenyataannya aturan ini tak cukup untuk menarik investasi masuk. Hingga akhirnya pemerintah menerbitkan beberapa peraturan terkait untuk lebih memudahkan proses perizinan.

Setidaknya, terdapat tiga kebijakan terbaru yang sudah dan akan diterbitkan oleh pemerintah dan menjadi sorotan di tahun 2018 terkait investasi. Pertama, Peraturan Pemerintah No 24 Tahun 2018 tentang Pelayanan Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik. PP No 24/2018 ini mengatur tentang Online  Single Submission (OSS). Kedua, Peraturan Kepala BKPM No 6 Tahun 2018 tentang Pedoman dan Tata Cara Perizinan dan Fasilitas Penanaman Modal. Dan ketiga adalah revisi Daftar Negatif Investasi.

 

Catatan KPPOD

OSS bisa disebut sebagai platform dalam mengurus perizinan di Indonesia. Dalam satu platform, pengusaha dapat mengurus berbagai izin (sesuai PP 24/2018) tanpa harus mendatangi kantor pemerintahan. Tujuan dari lahirnya OSS adalah untuk mengintegrasikan perizinan yang terdapat di daerah dan di pusat menjadi lebih sederhana dan cepat.

Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD), Robert Endi Jaweng mengatakan bahwa pada dasarnya semangat lahirnya OSS adalah untuk mempermudah perizinan di Indonesia, meski di satu sisi ia mengaku keberatan atas ditariknya kewenangan daerah untuk mengeluarkan izin-izin yang diatur di dalam UU Otonomi Daerah. Namun yang menjadi catatan Robert adalah implementasi OSS di daerah.

“Pada dasarnya OSS bertujuan baik, meski keberatan atas ditariknya kewenangan daerah oleh pusat, tapi itu ya sudahlah. Sekarang, bagaimana implementasinya di daerah, ini yang harus menjadi perhatian. Karena banyak pemda yang belum paham,” kata Robert kepada Hukumonline, Jumat (28/12).

Pemahaman pemda terhadap pelaksanaan OSS dinilai menjadi poin penting. Jika hal ini diabaikan, maka ia sanksi jika implementasi OSS akan berjalan lancar. Dalam hal ini, lanjutnya, peran pemerintah dalam hal sosialisasi harus terus digiatkan. Namun catatan paling penting KPPOD terkait investasi dan perizinan adalah inkonsistensi peraturan dan pungutan liar. Dua hal ini, kata Robert, menjadi PR bagi pemerintah untuk diselesaikan di tahun 2019.

Inkonsistensi peraturan yang dimaksud Robert adalah mengenai kewajiban pembuatan Surat Keterangan Domisili Usaha (SKDU) dalam proses perizinan. Mungkin terkesan remeh, tetapi SKDU menjadi dokumen dasar dalam mengurus perizinan. Robert mempertanyakan payung hukum kewajiban pengurusan SKDU. Ia menilai SKDU seharusnya dihapus karena berisiko menimbulkan pungutan liar di tingkat kelurahan.

“Pengurusan SKDU itu wajib, terkadang hal ini harus diperhatikan meski terkesan remeh. Tetapi, kewajiban pengurusan SKDU ini tidak ada payung hukumnya. Harusnya dihapuskan saja karena berpotensi pungli,” tambahnya.

Ombudsman Republik Indonesia sudah menyarankan pemerintah menghapus surat keterangan domisili usaha sebagai prasyarat pengurusan perizinan. Anggota Ombudsman Republik Indonesia (ORI) Dadan Suparjo Suharmijaya pernah mengatakan bahwa pihaknya telah menyelesaikan kajian tentang surat keterangan domisili usaha setelah menerima banyak laporan dari masyarakat terkait dengan biaya pembuatan SKDU yang tidak seragam dan tidak jelas peruntukannya.

Sejauh ini menurutnya pengurusan surat keterangan domisili usaha (SKDU) tidak memiliki payung hukum baik berupa peraturan walikota maupun bupati. Pasalnya, pembebanan biaya pengurusan surat ini tidak masuk dalam tarif retribusi maupun penerimaan negara yang diakui oleh Kementerian Keuangan sehingga pemerintah daerah enggan menyusun payung hukumnya.

Karena tidak memiliki payung hukum, besaran biaya pengurusan SKDU beragam antara satu daerah dengan daerah lainnya mulai dari Rp500.000 hingga Rp1 juta. Hal inilah yang menurutnya membuka peluang terjadinya praktik pungutan liar.

Robert menambahkan, pungli menjadi ‘wabah’ dari segala persoalan di Indonesia termasuk investasi dan perizinan. Sayangnya, dari sekian banyak peraturan terkait investasi dan kemudahan perizinan yang dirilis oleh pemerintah, belum ada peraturan yang dapat menjamin bahwa proses perizinan bebas dari pungli. Jika hal ini tidak diselesaikan, kemudahan investasi dan perizinan tidak akan berjalan dengan baik.

 

Pelaksanaan OSS

OSS diresmikan oleh pemerintah pada 21 Juni 2018. Sejak diresmikan, operasional OSS dilakukan di Kementerian Koordinator dan Perekonomian. Namun terhitung Januari 2019, operasional OSS berada dibawah kewenangan BKPM.

Untuk diketahui, sebelum pemerintah mengeluarkan OSS, pengurusan perizinan dilakukan di Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP). Seluruh proses perizinan tingkat daerah harus melalui PTSP. Namun setelah OSS hadir, fungsi PTSP dipertanyakan oleh kalangan pengusaha.

Direktur Eksekutif Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO), Danang Girindrawardana mengatakan pihaknya mendukung kebijakan pemerintah menerapkan sistem perizinan melalui OSS. Namun ia mempertanyakan, dalam proses peralihan peraturan di daerah, apakah pengurusan masih bisa dilakukan di PTSP atau hanya di OSS saja. “Rivalitas” ini harus segera dikomunikasikan ke seluruh dunia usaha.

Sementara itu Dosen Fakultas Hukum Universitas Tarumanagara (Untar), Ahmad Redi menyampaikan pada dasarnya OSS memang memangkas proses perizinan di Indonesia. Artinya ada semangat percepatan perizinan berusaha sehingga lahir PP No. 24 Tahun 2018 tentang Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik.

Dalam konteks ini, Redi menegaskan bahwa OSS tidak mencabut kewenangan apapun dari pemerintah daerah, ataupun Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM). Keberadaan OSS hanya mempercepat proses perizinan yang saat ini dikoordinasikan oleh Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian (Menko). Meski demikian, izin sektoral tetap berada di tangan pemda.

Menurut Redi, proses perizinan yang dilaksanakan oleh OSS dilakukan terbalik dari sistem perizinan sebelumnya. Jika sebelumya izin operasional atau izin komersil dikeluarkan setelah serangkaian perizinan seperti izin lingkungan, AMDAL, dan lain sebagainya, dikantongi oleh pengusaha. Namun dengan OSS, dengan Nomor Induk Berusaha (NIB), pengusaha bisa mendapatkan izin operasional dan izin komersil.

Lalu bagaimana dengan perizinan yang harus dipenuhi sebagai syarat untuk mendapatkan izin komersil atau izin operasional? Apakah syarat itu dihapuskan? Redi mengatakan ada komitmen diawal antara pemerintah dan pengusaha terkait perizinan-perizinan tersebut.

Isu revisi OSS sempat berhembus karena dinilai terlalu banyak menabrak aturan. Namun hal tersebut dibantah oleh Staf Khusus Kementerian Koordinator Perekonomian, Edy Putra Irawady. Menurut Edy, hingga saat ini pemerintah belum berencana melakukan revisi OSS. Ia juga  membantah adanya gesekan atau benturan peraturan antara PP 24/2018 dengan peraturan-peraturan yang ada di tingkat daerah.

 

Pajak dan Deregulasi

Pajak merupakan salah satu indikator dalam penilaian EoDB. Bahkan sektor pajak juga menjadi salah satu keluhan terbanyak pengusaha atau investor yang dilaporkan oleh BKPM pada Januari 2018. Keluhan utama menyoal pajak adalah besaran pajak yang dibebani oleh kalangan pengusaha di Indonesia.

Guna meningkatkan daya saing, permintaan penurunan besaran PPh Badan yang diungkapkan oleh Hariyadi, bukanlah sesuatu keniscayaan. Pengamat Perpajakan Yustinus Prastowo menyampaikan bahwa menurunkan tarif pajak tidak menjadi masalah jika diiringi dengan basis pajak yang sudah lebih luas. Namun, kebijakan ini tetap harus dilakukan dengan hati-hati. Salah satu cara yang bisa dilakukan adalah dengan melakukan penurunan tarif secara bertahap.

“Sekarang kita harus optimis basis pajaknya meluas karena ada AEoI. Saya kira pas AEoI ada, berarti basis pajak meluas dan menurunkan tarif  pajak dalam kondisi ini tidak masalah sepanjang dilakukan dengan hati-hati. Kalau usulan saya tidak bisa ekstreme, harus dilakukan dengan dua langkah dari 25 ke 2 persen, kalau positif bisa turun ke 18 persen. Tapi kalau dilakukan secara ekstremen, akan berisiko karena kita juga belum bisa mengukur apakah pasti kalau tarif turun investasi naik dan pajak bertambah. 18 persen angka minimal,” katanya kepada Hukumonline.

Sementara itu terkait deregulasi peraturan, Staf Ahli Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas Bidang Hubungan Kelembagaan, Diani Sadiawati, mengatakan bahwa Pemerintah sudah melakukan penataan terhadap 434 regulasi, baik di tingkat pusat maupun daerah. Mulai dari Peraturan Menteri dan Peraturan Ketua Lembaga hingga Surat Edaran Dirjen.

Diani membenarkan deregulasi yang dilakukan Pemerintah banyak berkutat pada bidang ekonomi. Empat bidang yang menjadi perhatian besar pemerintah adalah investasi, perizinan, ekspor/impor, dan kemudahan berusaha. Fokus bidang ekonomi ini relevan dengan upaya pemerintah menarik investasi masuk ke Indonesia. Dengan mempermudah izin diharapkan investor tertarik menanamkan saham di Indonesia.

Ia mengklaim pemerintah berusaha  menghapus separuh dari sekitar 42 ribu peraturan yang ditengarai tumpang tindih. Targetnya, pada 2025 mendatang sudah 21 ribuan regulasi yang diperbaiki.

Berdasarkan data yang diperoleh Hukumonline, dari total 434 peraturan yang di deregulasi sejak 2016, mayoritas adalah sektor perizinan (153), investasi (15), dan kemudahan berusaha (216).

 

Revisi Daftar Negatif Investasi

Revisi Perpres No. 44 Tahun 2016 tentang Daftar Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal atau yang dikenal dengan sebutan DNI ramai diperbincangkan setelah pemerintah memutuskan mengeluarkan UMKM dari DNI. Nada sumbang kemudian muncul dari kalangan pengusaha. Apindo, Kadin, dan Hipmi menyatakan menolak revisi DNI.

Menurut Hariyadi, pemerintah harus belajar dari implementasi DNI di tahun 2017 di mana banyak sektor-sektor yang dikeluarkan dari DNI justru tidak menarik minat investor. Ia juga mengkritik pemerintah yang tidak melibatkan pelaku usaha saat pembahasan revisi dilakukan.

Sebagai bagian dari Paket Kebijakan Ekonomi Jilid 16, pemerintah akhirnya memutuskan untuk menunda revisi DNI. Darmin mengatakan jika pihaknya akan melakukan diskusi bersama kalangan pengusaha. Hingga saat ini, revisi DNI belum disahkan oleh Presiden Jokowi. Rencananya, terdapat 54 bidang usaha yang akan direlaksasi dari DNI.

Bagi Pengamat Ekonomi dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Ahmad Heri Firdaus, pemerintah harus menyelesaikan persoalan fundamental investasi di Indonesia. Ia mengkritik, meskipun serangkaian kebijakan telah dikeluarkan untuk mempermudah investasi, namun masalah-masalah yang sama terus muncul. Misalnya saja persoalan perizinan, birokrasi yang masih bertele-tele, dan persoalan mendapatkan lahan.

Heri berpendapat, implementasi DNI Tahun 2016 menjadi tidak optimal disebabkan oleh sisi fundamental sektor investasi yang tidak terselesaikan. Di tengah persaingan antar negara-negara untuk memperbaiki iklim investasi, sepatutnya Pemerintah menaruh perhatian terhadap masalah-masalah tersebut. Meskipun Pemerintah sudah meluncurkan Online Sistem Submission (OSS), sistem ini masih belum diaplikasikan dengan sempurna. Menurut dia, masih perlu sosialisasi yang massif kepada seluruh pelaku usaha, dan memastikan bahwa sistem ini dapat dengan mudah digunakan oleh siapapun.

Sumber: hukumonline.com