code-of-conduct-wajib-jadi-acuan-perusahaan-fintech-dalam-menjalankan-bisnis

Code of Conduct Wajib Jadi Acuan Perusahaan Fintech dalam Menjalankan Bisnis

19 Desember 2018       693        Admin

Agar perusahaan fintech berizin yang telah memiliki aturan main dalam setiap kegiatan usahanya tidak melanggar hukum.

Kasus pelanggaran hukum perusahaan pinjaman online atau financial technology peer to peer lending (fintech P2P) ilegal kian bermunculan menimpa masyarakat. Kondisi ini menjadi perhatian khusus dari berbagai kalangan seperti Otoritas Jasa Keuangan (OJK) hingga organisasi sosial masyarakat seperti Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta dan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI).

Berbagai bentuk pelanggaran hukum dilakukan perusahaan fintech ilegal ini. Mulai dari penagihan intimidatif dan teror, penetapan suku bunga tinggi hingga penyebaran data pribadi dilakukan perusahaan ilegal tersebut. Salah satu penyebab utama terjadinya pelanggaran hukum tersebut yaitu tidak sanggupnya nasabah menunaikan kewajibannya pengembalikan pinjaman.

(Baca Juga: Jenis-jenis Pelanggaran Hukum di Industri Fintech)

Menanggapi kondisi tersebut, Ketua Harian Asosiasi Fintech Indonesia, Kuseryansyah mengungkapkan pihaknya mendukung regulator mengambil sikap tegas terhadap pelanggaran-pelanggaran tersebut. Maraknya kasus pelanggaran tersebut dikhawatirkan dapat mengurangi kepercayaan publik terhadap industri ini.

Sementara itu, dia juga menjelaskan para perusahaan fintech berizin telah memiliki aturan main agar setiap kegiatan usahanya tidak melanggar hukum. Kesepakatan tersebut tertuang dalam kode perilaku atau code of conduct yang ditandatangani para penyelenggara fintech.   

“Semua perusahaan fintech P2P lending yang menjadi anggota AFTECH sudah menandatangani Code of Conduct di akhir bulan Agustus yang lalu. Code of Conduct ini wajib menjadi acuan bagi para perusahaan dalam menjalankan bisnis mereka,” ujar Kuseryansyah.

Lebih lanjut, dia juga menjelaskan pihaknya akan memberi sanksi tegas kepada para anggota asosiasi yang terbukti melanggar ketentuan kegiatan usahanya. Sanksi tersebut berupa pencabutan keanggotaan perusahaan fintech dari asosiasi.  

Sejak terbentuk pada 2016, Aftech memiliki 207 anggota, yang terdiri dari 175 perusahaan startup fintech, 24 institusi keuangan, 5 mitra knowledge dan 3 mitra teknologi. Selain perusahaan fintech P2P lending, perusahaan-perusahaan fintech lainnya juga tergabung di dalam asosiasi ini.

Sementara itu, OJK juga akan menindak tegas terhadap penyelenggara fintech peer to peer lending (P2P) yang telah terdaftar atau berizin jika terbukti melakukan pelanggaran. Sedangkan untuk P2P ilegal, OJK melalui Satgas Waspada Investasi melakukan sejumlah tindakan untuk memutus mata rantai aliran dana.

OJK menjelaskan bahwa keberadaan P2P merupakan bentuk alternatif pendanaan yang mempermudah akses keuangan masyarakat. Namun, selain manfaat yang bisa didapat, masyarakat harus benar-benar memahami risiko, kewajiban dan biaya saat berinteraksi dengan P2P, sehingga terhindar dari hal-hal yang bisa merugikan.

Sesuai dengan POJK 77/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi, OJK mengawasi penyelenggara P2P yang berstatus terdaftar atau berizin dan hingga 12 Desember 2018 telah mencapai 78 penyelenggara. Penyelenggara P2P yang tidak terdaftar atau berizin di OJK dikategorikan sebagai P2P ilegal. OJK mengingatkan keberadaan P2P ilegal tidak dalam pengawasan pihak manapun, sehingga transaksi dengan pihak P2P ilegal sangat berisiko tinggi bagi para penggunanya.

(Baca: Advokat Ini Ingatkan Risiko Kerahasiaan Data Pribadi Sebelum Lakukan Pinjaman Fintech)

OJK melarang penyelenggara P2P legal mengakses daftar kontak, berkas gambar dan informasi pribadi dari smartphone pengguna P2P serta wajib memenuhi seluruh ketentuan POJK 77/2016 dan POJK 18/2018 mengenai Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan.

Sesuai ketentuan POJK 77/2016, OJK dapat mengenakan sanksi sesuai dengan pasal 47, yaitu peringatan tertulis, denda, pembatasan kegiatan usaha sampai dengan pencabutan tanda daftar atau izin. 

Deputi Komisioner Humas dan Manajemen Strategis OJK, Anto Prabowo,menyatakan mengenai pengaduan atau laporan masyarakat terkait P2P, OJK telah melakukan penelaahan dan telah berkoordinasi dengan P2P legal yang dipublikasikan di media telah melakukan pelanggaran.

“OJK secara tegas akan mengenakan sanksi jika memang terbukti penyelenggara tersebut melakukan pelanggaran,” kata Anto.

Berdasarkan penelahaan OJK, pengaduan masyarakat terkait P2P terdiri dari dua hal yaitu;

1. Nasabah tidak mengembalikan pinjaman tepat waktu, yang berujung pada perhitungan suku bunga dan penagihan

2. Perlindungan kerahasiaan data nasabah terkait dengan keluhan penagihan

Mengenai penanganan P2P ilegal, OJK yang tergabung dalam Satgas Waspada Investasi (SWI) telah menghentikan kegiatan sejumlah 404 P2P ilegal dan telah melakukan tindakan tegas kepada P2P ilegal berupa :

  1. Mengumumkan ke masyarakat nama-nama P2P ilegal
  2. Memutus akses keuangan P2P ilegal pada perbankan dan fintech payment system bekerjasama dengan Bank Indonesia
  3. Mengajukan blokir website dan aplikasi secara rutin kepada Kementerian Komunikasi dan Informatika RI
  4. Menyampaikan laporan informasi kepada Bareskrim Polri untuk proses penegakan hukum

Anto mengimbau kepada masyarakat agar membaca dan memahami persyaratan ketentuan dalam P2P terutama mengenai kewajiban dan biayanya. Hal yang harus dipahami adalah P2P lending merupakan perjanjian pendanaan yang akan menimbulkan kewajiban dikemudian hari untuk pengembalian pokok dan bunga utang secara tepat waktu sesuai dengan kesepakatan antara kedua belah pihak.

Ke depan, OJK juga akan terus melakukan sosialiasi kepada masyarakat bersama para stakeholders agar literasi masyarakat mengenai kegiatan pinjam meminjam uang berbasis teknologi dapat terus meningkat. “OJK akan terus memonitor dan berkoordinasi dengan berbagai pihak untuk mengawasi perkembangan P2P dalam upaya mewujudkan industri P2P yang sehat dan bermanfaat bagi masyarakat,” jelas Anto.

Sebelumnya, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta yang telah menerima sebanyak 1.330 pengaduan korban pinjaman online sejak November lalu.Berdasarkan laporan tersebut, sebanyak 25 perusahaan fintech terdaftar dari 89 penyelenggara justru melakukan pelanggaran terhadap konsumen atau nasabah.

LBH Jakarta mencatat sebanyak 14 pelanggaran hukum dan hak asasi manusia yang dialami oleh korban aplikasi pinjaman online. Pelanggaran-pelanggaran tersebut sebagai berikut:

  1. Bunga yang sangat tinggi dan tanpa batasan.
  2. Penagihan yang tidak hanya dilakukan pada peminjam atau kontak darurat yang disertakan oleh peminjam.
  3. Ancaman, fitnah, penipuan dan pelecehan seksual.
  4. Penyebaran data pribadi.
  5. Penyebaran foto dan informasi pinjaman ke kontak yang ada pada gawai peminjam.
  6. Pengambilan hampir seluruh akses terhadap gawai peminjam.
  7. Kontak dan lokasi kantor penyelenggara aplikasi pinjaman online yang tidak jelas.
  8. Biaya admin yang tidak jelas.
  9. Aplikasi berganti nama tanpa pemberitahuan kepada peminjam, sedangkan bunga pinjaman terus berkembang.
  10. Peminjam sudah membayar pinjamannya, namun pinjaman tidak hapus dengan alasan tidak masuk pada sistem.
  11. Aplikasi tidak bisa di buka bahkan hilang dari Appstore / Playstore pada saat jatuh tempo pengembalian pinjaman.
  12. Penagihan dilakukan oleh orang yang berbeda-beda.
  13. Data KTP dipakai oleh penyelenggara aplikasi pinjaman online untuk mengajukan pinjaman di aplikasi lain.
  14. Virtual Account pengembalian uang salah, sehingga bunga terus berkembang dan penagihan intimidatif terus dilakukan.

Sumber: hukumonline.com