
Dua Hal Hukum Ketenagakerjaan yang Belum Berjalan Optimal
23 April 2019 387 Admin
Sistem pengawasan belum berjalan optimal, sehingga tidak ada penegakan hukum dan kekuatan serikat buruh secara umum mengalami penurunan.
Ada beberapa peraturan yang mengatur bidang ketenagakerjaan, salah satunya UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Sekjen Federasi Serikat Buruh Kerakyatan (Serbuk) Indonesia, Khamid Istakhori menilai peraturan tentang perburuhan di Indonesia sudah tergolong bagus. Hukum ketenagakerjaan yang ada di Indonesia hampir mengatur seluruh aspek di sektor ketenagkaerjaan. Misalnya, Pasal 81 ayat (1) UU Ketenagakerjaan mengatur cuti haid bagi buruh perempuan. Padahal di negara lain belum tentu ada aturan serupa.
Secara umum, bagi Khamid, peraturan ketenagakerjaan yang ada, masih memposisikan buruh berhadapan langsung dengan pengusaha. Belum lagi, pemerintah kerap absen memberi perlindungan bagi buruh dan berdalih hanya sebagai wasit dan tidak berpihak. Menurut Khamid ini menandakan pemerintah tidak berpihak kepada buruh.
Meski demikian, Khamid melihat ada persoalan besar hukum ketenagakerjaan di Indonesia yang sulit dilaksanakan. Khamid mencatat sedikitnya ada dua hal yang menyebabkan peraturan ketenagakerjaan di Indonesia belum berjalan baik. Pertama, sistem pengawasan belum berjalan optimal, sehingga tidak ada penegakan hukum. Kedua, kekuatan serikat buruh secara umum mengalami penurunan.
Soal pengawasan, Khamid mencatat Menteri Ketenagakerjaan selalu beralasan jumlah petugas pengawas kurang, hanya ada sekitar 2.500 orang. Ini tidak sebanding dengan jumlah perusahaan yang harus diawasi totalnya lebih dari 3 juta perusahaan. “Peraturan ketenagakerjaan di Indonesia bagus di atas kertas, tapi sulit dilaksanakan,” kata Khamid dalam acara bedah buku di Jakarta, Senin (22/4/2019). Baca Juga: Merumuskan Peta Jalan Ketenagakerjaan untuk Peningkatan Data Saing
Khamid mengatakan sejak 2006 kalangan serikat buruh telah menawarkan draft RUU Perlindungan Buruh. Sayangnya, tawaran itu tidak mendapat sambutan baik dari pemerintah dan DPR. Khamid juga tidak yakin pemerintah dan anggota DPR hasil Pemilu 2019 ini akan memperbaiki kehidupan buruh secara signifikan. Karenanya pilihan tepat bagi kalangan buruh saat ini yakni mengorganisasi diri dan berserikat untuk membuat perubahan.
Dalam banyak kasus, Khamid melihat buruh yang mampu melakukan mogok kerja secara efektif, kampanye internasional, dan solid, mampu memberi tekanan dan meraih keberhasilan. Soal revisi UU Ketenagakerjaan, Khamid berpendapat tahun 2015 Presiden Joko Widodo berhasil mengubah ketentuan tentang kenaikan upah minimum tanpa merevisi UU Ketenagakerjaan. Pemerintah melakukan itu dengan menerbitkan PP No.78 Tahun 2015 tentang Pengupahan.
Menurut Khamid, revisi UU Ketenagakerjaan akan menimbulkan gejolak di kalangan buruh. Seperti diketahui, banyak pasal UU Ketenagakerjaan yang sudah dianulir MK. Tapi revisi UU Ketenagakerjaan menurut Khamid tidak akan memberi solusi terbaik bagi buruh. Baginya harus ada UU baru yang menggantikan UU Ketenagakerjaan.
Solidaritas buruh lebih efektif
Ketua Umum KPBI, Ilhamsyah mengatakan dalam perjuangannya buruh tidak hanya menghadapi tekanan dan intimidasi dari pengusaha, tapi juga sesama serikat buruh yang ada di perusahaan yang sama. Menurutnya, ini dampak dari kebijakan masa orde baru yang hanya membolehkan satu serikat buruh saja di tingkat nasional.
Ilhamsyah menilai posisi pemerintah dalam kasus perburuhan harusnya berada di tengah. Tapi praktiknya pihak pemerintah lebih cenderung kepada pengusaha. Dari berbagai pengalaman serikat buruh selama ini, Ilhamsyah berkesimpulan mekanisme hukum untuk menyelesaikan masalah perburuhan dinilai tidak efektif. Untuk mendapatkan keadilan, buruh harus menggalang kekuatannya sendiri, dan saling bersolidaritas. Keberhasilan ini bisa dilihat dari praktik geruduk pabrik di sejumlah kawasan industri sekitar tahun 2012.
“Tahun 2012 itu dalam 6 bulan buruh Bekasi dapat menyelesaikan kasus 120 ribu buruh untuk berubah statusnya menjadi pekerja tetap tanpa melalui proses pengadilan hubungan industrial (PHI), tapi kesepakatan dengan pengusaha,” ujar Ilhamsyah mencontohkan.
Dari pengalaman itu, Ilhamsyah berpendapat aksi solidaritas yang besar antar serikat buruh lebih efektif dalam menyelesaikan kasus ketenagakerjaan daripada mekanisme hukum. Menurutnya, mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan industrial (PPHI) yang ada saat ini sangat melemahkan posisi buruh. Misalnya, ada SEMA yang membatasi jumlah upah proses yang dibayar hanya 6 bulan. [Baca Juga: Kalangan Buruh Tuntut 3 SEMA Ini Direvisi]
Dia menghitung jangka waktu yang harus dilalui buruh untuk menyelesaikan masalah ketenagakerjaan melalui mekanisme PPHI sangat panjang. Proses peradilan di PHI memakan waktu bulanan, apalagi jika salah satu pihak melakukan upaya hukum ke MA. Sekalipun ada putusan yang memenangkan buruh, belum tentu dapat dilaksanakan. Misalnya, putusan terkait peralihan status buruh dari kontrak menjadi pekerja tetap. “Untuk perubahan status hubungan kerja ini belum pernah ada eksekusinya. Pengadilan kebingungan bagaimana cara melakukan eksekusi itu?”
Sumber : Hukumonline.com