dugaan-diskriminasi-rasial-mahasiswa-papua-harus-diselesaikan-secara-hukum

Dugaan Diskriminasi Rasial Mahasiswa Papua Harus Diselesaikan Secara Hukum

26 Agustus 2019       980        Admin

Karena ada sanksi pidana dan denda bagi pelaku diskriminasi rasial dalam peristiwa penyerangan mahasiswa Papua ini. Presiden Joko Widodo menginstruksikan Kapolri Jenderal (Pol) Tito Karnavian menindak tegas pelaku rasisme pada pengepungan asrama mahasiswa Papua di Surabaya.

Pengepungan dan penyerangan terhadap asrama mahasiswa Papua di Surabaya dan wilayah lain berbuntut panjang. Buntut dari peristiwa ini, elemen warga Papua merespon tindakan itu dengan melakukan demonstrasi damai di sejumlah wilayah Papua yang sempat berakhir ricuh.

Pengacara publik LBH Surabaya sekaligus pendamping mahasiswa Papua yang menjadi korban pengepungan itu, Sahura mengatakan peristiwa berawal dari demonstrasi mahasiswa Papua di Malang, Jawa Timur, Kamis (15/8). Demonstrasi damai di Balai Kota Malang itu diserang sekelompok orang bertopeng. Akibat penyerangan itu 19 orang luka dan 4 disiram air cabai.

Hari berikutnya, sekitar Jumat (16/8) sore, Sahura mengatakan asrama mahasiswa Papua di Surabaya didatangi anggota TNI, Polisi, Satpol PP, dan beberapa ormas. Kedatangan mereka berkaitan dengan dugaan pengerusakan tiang bendera dan pembuangan bendera merah putih ke selokan.

Oknum TNI menggedor gerbang asrama dan melontarkan hinaan kepada mahasiswa di dalam asrama. Kemudian disusul puluhan anggota ormas melempari asrama dengan batu dan massa bersorak “usir mahasiswa Papua!”. Pengepungan terhadap asrama mahasiswa Papua di Surabaya itu menyulitkan akses keluar masuk asrama.

Bahkan 2 orang mahasiswa yang berniat mengantarkan makanan ke dalam asrama ditangkap aparat kepolisian dan digelandang ke Mapolrestabes Surabaya. Sekitar Sabtu (17/8) sore, aparat kepolisian bersenjata laras panjang masuk dan menangkap seluruh orang di dalam asrama. Sahura mencatat 43 orang dibawa ke Mapolrestabes Surabaya untuk diperiksa dan menjelang tengah malam seluruhnya dikembalikan ke asrama.

“Aparat sempat menembakkan gas air mata ke asrama, dan menyebabkan satu orang luka pada bagian kaki karena terkena ledakan peluru gas air mata,” kata Sahura dalam jumpa pers di kantor YLBHI/LBH Jakarta, Kamis (22/8/2019). Baca Juga: Masyarakat Sipil Kecam Aksi Pengempungan Asrama Mahasiswa Papua

Pengacara publik LBH Papua Emanuel Gobay menjelaskan hasil pemeriksaan Mapolrestabes Surabaya itu menyimpulkan tidak ada mahasiswa Papua yang terbukti merusak tiang bendera atau membuang bendera merah putih di selokan. Perlakuan yang dialami mahasiswa Papua di Surabaya itu mendapat simpati masyarakat di Papua, sehingga mereka melakukan demonstrasi damai di beberapa kota seperti Manokwari, Nabire, Timika, Fak Fak, Biak, Yapen, dan Sorong.

Meski demonstrasi itu dilakukan secara damai, pria yang disapa Edo itu menyayangkan tindakan aparat yang menangkap masyarakat yang melakukan aksi di Timika. Bahkan ada 1 orang korban jiwa di Fak Fak. Menurutnya, berbagai bentuk pelanggaran HAM terus terjadi di Papua dan tidak pernah ada penegakan hukum. Periode September 2018-Agustus 2019 tercatat ada 8 peristiwa mulai dari pembubaran demonstrasi dan penangkapan oleh aparat.

Edo mengingatkan pentingnya langkah pemerintah saat ini melakukan penegakan hukum terhadap setiap kekerasan dan pelanggaran HAM yang dialami masyarakat Papua, termasuk warga Papua yang berada di daerah lain. Alih-alih melakukan penegakan hukum, Edo melihat pemerintah malah berencana menambah jumlah pasukan TNI dan Polri ke Papua.

“Penambahan pasukan akan menambah kasus kekerasan dan pelanggaran HAM di Papua. Kami butuh kepastian hukum dalam penyelesaian kasus kekerasan, diskriminasi, dan rasialisme,” tegasnya.

Direktur LBH Jakarta Arif Maulana mencatat dalam 2 tahun ini sedikitnya terjadi 33 kasus pelanggaran HAM yang dialami mahasiswa Papua di berbagai daerah seperti Surabaya, Semarang, Yogyakarta, Bali, dan Makassar. Pelanggaran HAM yang dialami itu bernuansa diskriminatif dan rasial, seperti intimidasi, ancaman kekerasan, pernyataan rasis, penggerebekan asrama, pembubaran diskusi, dan penangkapan sewenang-wenang. Pelangaran HAM ini terjadi secara masif dengan pola yang sama di berbagai daerah dan diduga ada aparat yang terlibat.

Ironisnya, sampai saat ini belum ada satu pun kasus pelanggaran HAM di Papua yang dituntaskan oleh pemerintah. Akibatnya impunitas terjadi, para pelakunya tidak dikenakan sanksi, sehingga pelanggaran serupa terus berulang. “Pemerintah tidak peka untuk menyelesaikan persoalan keadilan yang dihadapi masyarakat Papua,” tudingnya.

Ketua Pengembangan Organisasi YLBHI Febi Yonesta mengingatkan Pasal 156 dan Pasal 157 KUHP mengancam pidana bagi orang yang menyatakan perasaan permusuhan, kebencian, atau penghinaan berdasarkan ras, negeri asal, agama, tempat asal, keturunan, kebangsaan atau kedudukan menurut hukum tata negara.

Lebih lanjut, Pasal 16 UU No.40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis memuat ancaman pidana penjara paling lama 5 tahun dan/atau denda paling banyak Rp500 juta bagi setiap orang yang menunjukan kebencian atau rasa benci kepada orang lain berdasarkan diskriminasi ras dan etnis.

Pasal 17 UU No.40 Tahun 2008 juga menyebut setiap orang yang melakukan penganiayaan berdasarkan diskriminasi ras dan etnis juga dapat dikenakan pidana ditambah sepertiga dari masing-masing ancaman pidana maksimumnya. “Jadi intinya ada sanksi pidana bagi orang yang melakukan diskriminasi dan tindakan rasial,” papar pria yang disapa Mayong itu.

Atas dasar itu, YLBHI/LBH mendesak pemerintah melakukan setidaknya 4 hal. Pertama, aparat penegak hukum segera memproses penegakan hukum untuk mengadili dan memberikan sanksi terhadap oknum aparat dan/atau warga yang melakukan diskriminasi rasial atau pelanggaran hukum dan HAM terhadap mahasiswa Papua di berbagai wilayah. Kedua, Komnas HAM perlu melakukan investigasi atas dugaan pelanggaran HAM yang dilakukan oknum aparat kepolisian, TNI, dan ormas.

Ketiga, mengupayakan penyelesaian persoalan diskriminasi rasial terhadap warga Papua dengan pendekatan penegakan hukum dan HAM, bukan keamanan. Karena itu, penambahan atau pengiriman aparat keamanan ke Papua harus dihentikan dan menarik kembali aparat yang telah dikirim ke Papua. Keempat, pemerintah bersama seluruh elemen masyarakat harus memastikan tindakan diskriminasi dan pelanggaran terhadap hak-hak warga Papua tidak berulang.

Tindak tegas

Terpisah, Presiden Joko Widodo menginstruksikan Kapolri Jenderal (Pol) Tito Karnavian menindak tegas pelaku rasisme pada pengepungan asrama mahasiswa Papua di Jalan Kalasan Surabaya, Jawa Timur pada 16 Agustus 2019 yang berbuntut kerusuhan di Papua.

"Saya juga telah memerintahkan Kapolri untuk menindak secara hukum tindakan diskriminasi, ras dan etnis yang rasis secara tegas," ujarnya kepada awak media saat menggelar konferensi pers di Istana Bogor, Jabar, Kamis petang seperti dikutip Antara.

Jokowi mengaku akan terus mengikuti kondisi situasi di Papua pascakerusuhan 19 Agustus 2019. Tapi, menurutnya hingga kini kondisi di tanah Papua sudah berangsur normal. "Saya terus mengikuti perkembangan yang ada di tanah Papua, dan alhamdulillah situasi sudah berjalan normal kembali," ujar Jokowi.

Menurutnya, permintaan maaf atas rentetan kejadian itu sudah disampaikan sebagai wujud kebesaran hati pemerintah dan masyarakat Papua untuk saling memaafkan. Terlebih, ia mengaku sudah menugaskan Kapolri dan Panglima TNI untuk menindak para oknum yang terlibat.

Jokowi juga akan mengundang para tokoh Papua pekan depan ke Istana Kepresiden sebagai tindak lanjut dari peristiwa kerusuhan Papua. "Saya juga akan mengundang para tokoh dari Papua dan Papua Barat baik tokoh adat, tokoh masyarakat, tokoh agama ke Istana, bicara masalah percepatan kesejahteraan di tanah Papua," tuturnya. 

Sementara Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum dan Keamanan Jenderal TNI (Purn) Wiranto menyampaikan salam persaudaraan dari Presiden Joko Widodo saat bertemu dengan sejumlah tokoh dan masyarakat Manokwari, Papua Barat, Kamis (22/8/2019) seperti dikutip Antara.

Wiranto yang hadir bersama Kapolri Jenderal Polisi Tito Karnavian dan Panglima TNI Marsekal TNI Hadi Tjahjanto mengatakan, sebelum berangkat ke Papua Barat, ketiganya bertemu dengan Presiden Jokowi.

"Tujuan kami datang ke sini bukan untuk mengawasi, memata-matai atau mengarahkan, tetapi kami menyalami saudara-saudara kita yang ada di Papua Barat ini, terutama setelah terjadi suatu insiden yang kita sesalkan sehingga bisa terjadi hal seperti itu," ujar Wiranto.

Ketiganya sampai di Manokwari sekitar pukul 15.30 WIT, setelah melakukan kunjungan di Sorong. Wiranto menyebut insiden yang terjadi di Tanah Papua bukan karena unsur-unsur yang disengaja, melainkan adanya oknum-oknum yang tidak bisa menahan diri.

"Modal kita mengadapi hasutan, hinaan, cercaan, adu domba, harus dengan sabar berpikir positif dan kita harus saling memaafkan satu dengan yang lain," ucap dia.

Ia pun mengucapkan terima kasih kepada pemerintah daerah, masyarakat, tokoh adat dan agama serta pimpinan pemuda yang membangun rasa kesadaran bersama bahwa insiden itu tidak perlu dilanjutkan dan diperpanjang. 

Tindakan sewenang-wenang

Buntut peristiwa ini, Rabu (21/8) kemarin, pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kemenkominfo) menutup akses internet di wilayah Papua dan Papua Barat. Keputusan ini diambil dengan alasan mempercepat proses pemulihan situasi keamanan di kedua provinsi itu.

Direktur Eksekutif ICJR Anggara Suwahju mengkritik pemblokiran layanan akses data internet di Papua dan Papua Barat oleh Kemenkominfo ini. Sebab, alasan Kemenkominfo tanpa menjelaskan apa yang sebenarnya menjadi hambatan pemulihan Papua jika layanan telekomunikasi tidak diblokir. “Sampai sekarang tidak diketahui sampai kapan pemblokiran itu dilakukan,” kata Anggara saat dikonfirmasi.

Anggara menilai pembatasan akses layanan telekomunikasi itu tindakan melawan hukum dan sewenang-wenang oleh Kemenkominfo. Bagi ICJR, kebijakan pembatasan HAM dan harus dilakukan mengacu batas-batas kondisi (keadaan bahaya) yang ditetapkan UUD 1945 dan sesuai komentar umum No.29 terhadap Pasal 4 ICCPR yang menyebut ada 2 kondisi mendasar yang harus dipenuhi untuk membatasi HAM. Pertama, situasi sebagai latar belakang pemblokiran harus berupa keadaan darurat yang mengancam kehidupan bangsa,

Kedua, Presiden harus menetapkan secara resmi bahwa negara dalam keadaan darurat melalui Keputusan Presiden sebagai dasar pembatasan layanan telekomunikasi tersebut. Anggara mencatat sebelumnya Kemenkominfo juga telah melakukan perlambatan (throttling) akses jaringan internet di beberapa wilayah Papua saat terjadi aksi massa pada Senin (19/8).

“Hal ini juga bagian dari pembatasan HAM yang seharusnya hanya dapat dilakukan dalam situasi tertentu dan limitatif. Bentuk pembatasan HAM tanpa penjelasan merupakan bentuk pelanggaran hukum yang serius yang seharusnya segera dihentikan,” tegasnya.  

Menurut Anggara, kebijakan ini tak sesuai kewenangan pemerintah dalam Pasal 40 UU ITE, yang intinya menyebut pemerintah berwenang melindungi kepentingan umum dari segala jenis gangguan sebagai akibat penyalahgunaan informasi elektronik dan transaksi elektronik yang mengganggu ketertiban umum sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 40 UU ITE itu menyebutkan pencegahan penyebarluasan dan penggunaan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang dapat dibatasi oleh pemerintah hanya untuk konten yang memiliki muatan yang dilarang sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. “Pemutusan akses hanya dapat dilakukan terhadap muatan yang melanggar UU, bukan layanan aksesnya secara keseluruhan. Pembatasan layanan data komunikasi secara keseluruhan dapat merugikan kepentingan yang lebih luas.” (ANT)

Sumber : Hukumonline.com