
Hukum Ketenagakerjaan Harus Adaptif Terhadap Perkembangan Teknologi
19 Juni 2019 1283 Admin
Kearifan lokal menjadi aksiologi hukum ketenagakerjaan.
Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi mempengaruhi hubungan industrial dan arah hukum ketenagakerjaan Indonesia di masa mendatang. Konsep padat karya sudah tak dapat dipertahankan lagi, dan format hubungan kerja sudah banyak berubah. Revolusi industri 4.0 tidak akan menjadikan upah buruh rendah sebagai daya tarik untuk investasi. Pemanfaatan teknologi akan banyak menggeser tenaga kerja manusia. Karena itu, hukum ketenagakerjaan harus adaptif menyongsong perubahan yang terjadi.
Demikian benang merah orasi ilmiah yang disampaikan Iron Sarira dalam rangka dies natalis Jurusan Hukum Bisnis Binus University di Jakarta, Selasa (18/6). Pria yang menjadi dosen di Binus University ini membawakan makalah ‘Aksiologi Hukum Ketenagakerjaan pada Era Revolusi Industri 4.0 Berbasis Kearifan Lokal Keindonesiaan’, dan menyampaikannya di audiens yang hadir pada peringatan satu windu Jurusan Hukum Bisnis.
Mau tidak mau, revolusi industri 4.0 mempengaruhi banyak hal, termasuk aktivitas di bidang hukum. Mereka yang bergelut di bidang hukum ketenagakerjaan, atau mereka yang sehari-hari berkutat dalam perumusan kebijakan ketenagakerjaan, termasuk pada advokat dan hakim harus adaptif terhadap perkembangan teknologi itu. Menurut Iron Sarira, mereka harus membuka wawasan lebih luas agar hukum ketenagakerjaan tidak tertinggal jauh dibandingkan perkembangan hubungan industrial dalam praktik.
“Cara berhukum di era revolusi industri 4.0 saat ini menuntut pada yuris untuk makin adaptif, cerdas, terbuka, berwawasan global, berintegritas, berkarakter dan berpegang pada nilai-nilai yang berangkat dari sesuatu yang benar-benar hidup dan dipraktikkan,” paparnya.
Perlunya kebijakan dan sikap adaptif terhadap perkembangan global juga pernah diungkapkan Agusmidah. Dosen Hukum Ketenagakerjaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara ini menyatakan globalisasi telah mempengaruhi setiap aspek hubungan kerja. Masuknya pekerja asing ke Indonesia dan sebaliknya mungkin dapat dijadikan bukti globalisasi hubungan industrial akibat pengaruh globalisasi.
Alhasil, hubungan kerja beserta aspek-aspek hukumnya semakin kompleks. Salah satu yang menimbulkan perdebatan hingga kini, dan disinggung Iron Sarira adalah hubungan kerja antara perusahaan pengelola layanan transportasi daring seperti Go Jek dengan pemilik kendaraan, dan konsumen pemesan dan pengguna jasa transportasi. Para pengambil kebijakan di Kementerian Perhubungan tak hanya dipusingkan oleh penggunaan kendaraan roda dua sebagai angkutan umum (padahal tak tercakup dalam UU No. 22 Tahun 2009tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan), tetapi juga relasi ketenagakerjaan dan pertanggungjawaban hukum jika terjadi kejahatan terhadap konsumen.
Kasus transportasi daring semacam itu, menurut Iron Sarira, memperlihatkan format hubungan kerja yang sudah berubah. “Hubungan antara Go Jek dengan pemilik kendaraan dan konsumen tidak sepenuhnya dapat dimasukkan ke dalam format hubungan hukum yang diatur dalam hukum perjanjian dan hukum ketenagakerjaan konvensional,” jelas dosen kelahiran Palembang, 29 Juli itu.
Menteri Ketenagakerjaan, M. Hanif Dakhiri, sebenarnya juga sudah pernah menyinggung persoalan ini. Perkembangan teknologi terbukti menghilangkan beberapa jenis pekerjaan karena tenaga manusia digantikan mesin. Tetapi teknologi juga menciptakan banyak lapangan pekerjaan baru, yang membutuhkan kebijakan baru untuk mengaturnya.
Pengaturan tentang hubungan ketenagakerjaan dalam ekonomi digital, misalnya. Menurut Iron Sarira, virtualisasi hubungan kerja harus tetap menjadi fokus utama dalam pembuatan aturan karena hubungan ini tetap melibatkan pemberi kerja dan penerima kerja. Bagaimanapun, lanjutnya, tantangan perubahan model ketenagakerjaan harus disikapi secara cepat dan tepat melalui koordinasi antara pekerja, pengusaha, dan pemerintah selaku regulator. Keterampilan pekerja perlu disesuaikan dengan kebutuhan digitalisasi. Tiga tantangan yang harus diantisipasi di masa mendatang adalah peningkatan kualitas pendidikan, kesesuaian kebutuhan pemberi kerja dengan kompetensi pekerja, dan pembenahan mentalitas pekerja agar terus mampu beradaptasi dengan perkembangan.
Meskipun harus menghadapi perkembangan global, Iron Sarira tetap memandang pentingnya kearifan lokal sebagai aksiologi hukum ketenagakerjaan. Pandangan ini mengandung makna bahwa untuk menyikapi dinamika hukum ketenakerjaan akibat revolusi industri 4.0, masyarakat tetap perlu membentengi diri dengan cara membangun budaya yang sesuai kearifan lokal sebagai nilai-nilai luhur bangsa Indonesia. Ia menepis pandangan bahwa mengusung kearifan lokal sebagai perlawanan terhadap arus globalisasi.
Menurutnya, perkembangan teknologi informasi dan komunikasi hanyalah instrumen, sedangkan isinya sangat bergantung pada nilai-nilai yang dibawa oleh pengguna teknologi tersebut. Pekerja, pengusaha dan pemerintah adalah subjek pengguna teknologi dimaksud, dan berinteraksi dalam hubungan industrial yang terbangun. Maka, dalam pembuatan kebijakan hukum ketenagakerjaan, pemerintah dan pemangku kepentingan lain perlu memasukkan nilai-nilai kearifan lokal, yakni nilai-nilai moral yang dijunjung tinggi oleh masyarakat itu sendiri. Ia percaya kearifan lokal dapat berkesinambungan, dijaga dan dipelihara dalam kehidupan masyarakat setempat.
Memasukkan kearifan lokal ke dalam kebijakan sebaiknya bersifat bottom up. “Nilai-nilai (kearifan lokal) itu pula yang digunakan saat UU Ketenagakerjaan dan peraturan perundang-undangan lainnya dalam sistem hukum positif Indonesia dirancang dan diberlakukan,” ujarnya.
Sumber: hukumonline.com