ketika-se-thr-sesuai-harapan-pengusaha-buruh-menolak

Ketika SE THR Sesuai Harapan Pengusaha, Buruh Menolak

11 Mei 2020       1513        Admin

Pembayaran THR dilakukan sesuai kemampuan perusahaan bisa dibayar langsung secara penuh atau bertahap. Buruh menilai surat edaran itu membuka celah pengusaha tidak membayar THR dan bertentangan dengan hukum.

 

Belum lama ini, Menteri Tenaga Kerja Ida Fauziyah menerbitkan Surat Edaran No.M/6/HI.00.01/V/2020 tentang Pelaksanaan Tunjangan Hari Raya Keagamaan Tahun 2020 di Perusahaan dalam Masa Pandemi Covid-19. SE Menaker yang diteken pada 6 Mei 2020 ini memastikan perusahaan agar membayar THR sesuai peraturan. Jika perusahaan tidak mampu membayar THR tepat waktu sesuai peraturan, dapat dibayar bertahap atau ditunda.    

 

Direktur Apindo Research Institute Agung Pambudhi mengaku surat edaran itu sesuai surat yang dilayangkan Apindo kepada pemerintah, yang salah satunya meminta agar pembayaran THR dilakukan dengan melihat kemampuan perusahaan. Alasannya, pandemi Covid-19 berdampak pada sektor industri yang mempengaruhi pendapatan (keuangan) perusahaan, sehingga berdampak pada pemenuhan hak normatif buruh termasuk THR. 

 

Baginya, pembayaran THR dalam situasi seperti sekarang ini mesti disesuaikan dengan kemampuan perusahaan. Jika perusahaan memiliki kemampuan finansial yang baik, THR harus dibayar secara penuh. Namun, jika perusahaan yang mengalami kendala finansial, pembayaran THR dapat dilakukan secara bertahap atau dicicil.

 

Kendati SE Menaker ini sesuai permintaan tertulis pengusaha melalui Apindo, tapi Agung menekankan agar pelaksanaannya harus dilakukan dengan dialog antara pengusaha dan buruh di perusahaan. Dialog itu penting agar kedua pihak memahami persoalan yang ada dan bagaimana mencari solusinya.

 

“Apindo mengimbau agar pelaksanaannya dimulai dengan dialog antara pengusaha dan buruh, disepakati saja bagaimana mekanismenya. Sebab, SE Menaker ini sudah cukup akomodatif bagi buruh dan pengusaha, kunci pelaksanaannya yaitu dialog,” kata Agung Pambudhi ketika dihubungi, Jumat (8/5/2020).

 

Agung melihat kondisi perusahaan saat ini ada yang mampu dan tidak dalam pembayaran THR. Misalnya, sektor bisnis pariwisata dan transportasi, sangat terpukul dampak pandemi Covid-19, sehingga kemampuan perusahaan membayar THR relatif minim. Sebaliknya, untuk perusahaan besar dan multinasional finansialnya kuat dan seharusnya tidak ada persoalan memenuhi hak normatif pekerja termasuk THR.

 

Dia berharap untuk menjamin pembayaran THR buruh di perusahaan yang tidak mampu, pemerintah bisa menerbitkan kebijakan untuk membantu perusahaan tersebut, seperti menanggung pembayaran THR. Tentu saja kebijakan ini perlu melihat kemampuan keuangan pemerintah dan menerapkan syarat yang ketat agar tepat sasaran.

 

Menurutnya, kebijakan Peraturan OJK No.11 Tahun 2020 tentang Stimulus Perekonomian Nasional Sebagai Kebijakan Countercyclical Dampak Penyebaran Covid-19, dapat diarahkan agar perusahaan mampu membayar THR. Misalnya, perusahaan yang kesulitan membayar THR dapat diberikan pinjaman tanpa bunga untuk membayar THR dan upah buruh. Perusahaan dapat melunasi pinjaman itu secara bertahap ketika kondisi sudah normal.

 

Minta dicabut

Ketua Umum Konfederasi Perjuangan Buruh Indonesia (KPBI) Ilhamsyah mendesak SE Menaker tentang THR dicabut karena memberi celah pengusaha tidak membayar THR dan bertentangan dengan hukum. Dia menilai belum tentu semua pengusaha tidak mampu membayar THR. Meski SE itu menyebut mekanisme pembayaran THR dilakukan berdasarkan kesepakatan, tapi faktanya tidak semua buruh memiliki perwakilan atau serikat yang kuat dan berintegritas untuk berunding.

 

“Praktiknya nanti tidak akan menemukan kesetaraan dalam perundingan dan yang dibutuhkan sekarang adalah regulasi untuk melindungi kelompok yang lemah,” kata dia. (Baca Juga: Beragam Kondisi yang Dialami Buruh Dampak Covid-19)

 

Edaran ini juga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan karena kewajiban perusahaan membayar THR tercantum dalam Permenaker No.6 Tahun 2016 tentang THR Bagi Pekerja/Buruh di Perusahaan dan PP No.78 Tahun 2015 tentang Pengupahan. Kedua regulasi ini tidak mengatur penundaan atau pembayaran THR dengan cara bertahap. “SE tidak bisa menjadi dasar hukum karena bukan peraturan perundang-undangan, tapi praktiknya SE dijalankan seperti peraturan perundang-undangan,” ujarnya.

 

Ilhamsyah mengatakan THR dapat membantu buruh untuk melewati masa sulit pandemi Covid-19. Mengacu data Kementerian Ketenagakerjaan sedikitnya 2,8 juta buruh dirumahkan atau mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK). Dia juga mengkritik posko THR dimana dalam situasi normal masih ada perusahaan yang tidak menunaikan kewajiban membayar THR.

 

Dari berbagai laporan yang selama ini disampaikan KPBI ke posko THR, tidak ada satu pun kasus yang ditindaklanjuti Kementerian Ketenagakerjaan, dan tidak ada sanksi yang dijatuhkan terhadap perusahaan yang melanggar aturan THR.

 

Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal menolak edaran itu karena isinya memberi kelonggaran bagi pengusaha untuk tidak membayar THR sebesar 100 persen atau dengan cara mencicil atau menunda pembayarannya dengan cara mendorong perundingan buruh dan pengusaha di perusahaan.

 

Dia mengingatkan UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan PP No.78 Tahun 2015 tentang Pengupahan mewajibkan pengusaha membayar THR secara penuh (minimal 1 bulan upah) bagi pekerja dengan masa kerja minimal 1 tahun tanpa melalui perundingan. Bagi pekerja dengan masa kerja di bawah setahun THR diberikan secara proporsional sesuai masa kerja.

 

“KSPI berpendapat THR harus dibayar 100 persen bagi buruh yang masuk bekerja; buruh yang diliburkan sementara karena Covid-19; buruh yang dirumahkan karena covid-19; ataupun buruh yang di-PHK dalam rentang waktu H-30 dari lebaran,” tegas Said Iqbal.

 

Iqbal menyerukan kalangan buruh menolak pembayaran THR yang mengacu surat edaran tersebut. Menurutnya, penting bagi pemerintah untuk menjaga daya beli buruh di masa pandemi Covid-19. Sebab, pembayaran THR dengan dicicil atau ditunda dapat menurunkan daya beli buruh yang bisa berdampak pada rendahnya pertumbuhan ekonomi.

 

Menurut Iqbal, pembayaran THR dengan cara dicicil ini lebih tepat untuk perusahaan terdampak Covid-19 kategori kecil dan menengah seperti hotel melati, restoran nonwaralaba, UMK, ritel skala menengah ke bawah dan lainnya. Untuk perusahaan besar seperti hotel berbintang, restoran besar atau waralaba internasional, ritel besar, industri manufaktur wajib membayar THR secara langsung dan penuh tanpa dicicil atau ditunda.

 

“Lebaran adalah waktu yang sangat penting dan penuh kebahagiaan yang dirayakan masyarakat Indonesia termasuk buruh. Jadi sungguh ironis jika THR dicicil atau ditunda, atau nilainya di bawah 100 persen,” katanya.