
Kontroversi WNA Masuk Daftar Pemilih Tetap Jelang Pemilu 2019
12 Maret 2019 519 Admin
Keteledoran atau kesalahan pemahaman terhadap peraturan perundang-undangan?
Masyarakat awam biasanya menggunakan logika sederhana. Memilih dalam pemilu adalah hak setiap penduduk yang sudah berusia 17 tahun ke atas. Usia itu dapat dilihat dari tanggal lahir yang tertera dalam Kartu Tanda Penduduk (KTP) karena setiap penduduk yang sudah berusia 17 tahun ke atas berhak mendapatkan KTP. Artinya, semua orang yang sudah punya KTP berhak untuk memilih pada pemilu 17 April mendatang.
Logika sederhana itu bukan tanpa dasar. Pasal 348 UU No. 7 Tahun 2017tentang Pemilihan Umum menyebutkan empat kategori pemilih yang berhak mengikuti pemungutan suara di Tempat Pemungutan Suara (TPS). Pertama, pemilik KTP elektronik yang terdaftar pada Daftar Pemilih Tetap (DPT) di TPS bersangkutan. Kedua, pemilik KTP elektronik yang terdaftar pada daftar pemilih tambahan. Ketiga, pemilik KTP elektronik yang tidak terdaftar pada daftar pemilih tetap dan daftar pemilih tambahan. Keempat, penduduk yang telah memiliki hak pilih.
Kategori ini menjadi kontroversi karena dalam DPT yang disusun Komisi Pemilihan Umum ada banyak warga negara asing. Apakah WNA puya hak pilih? Dalam konteks pemilu di Indonesia, jelas bahwa hanya WNI yang punya hak memilih. Lantas, kok bisa masuk WNA dalam DPT? Jumlahnya pun tidak sedikit.
Sekretaris Ditjen Kependudukan dan Catatan Sipil Kementerian Dalam Negeri, I Gede Suratha menyebutkan jumlah WNA yang memiliki KTP elektronik (KTP-el) mencapai 1.680 orang. Mereka tersebar di Bali, Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat dan daerah lain. Sebagian bekerja di sektor pariwisata. Tetapi sejauh ini yang berhasil dilacak KPU dan masyarakat sipil hanya ratusan WNA yang terdaftar di DPT.
Lepas dari jumlahnya, masuknya WNA dalam DPT disayangkan banyak pihak. Anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Muhammad Afifuddin, menduga persoalan ini muncul karena kekurangtelitian pada saat proses pencocokan dan penelitian (coklit) daftar pemilih. Proses coklit idealnya telah dilakukan di awal sejak pemutakhiran data pemilih. Seharusnya juga bisa dilacak pada proses pemeliharan data pemilih yang sangat menuntut ketelitian. Dalam proses ini, terhadap data baru yang belum dimasukkan dapat segera dimasukkan, dan data yang harus diperbaiki atau dihapus dapat dicoret.
Untuk itu, langkah tepat mengatasi persoalan ini adalah menghapus WNA dari DPT. “Sampai hari H masih ada proses untuk bisa menghapus. Kita ambil baiknya saja untuk kemudian memastikan kalau memang seharusnya tidak masuk dalam DPT, ya bisa dihapus dan itu sudah kita lakukan,” ujar Afif, di sela-sela acara Rakornas Bawaslu, Selasa (5/3), di Jakarta.
Langkah ini pula yang dipilih KPU. Komisioner KPU Viryan Azis menegaskan bahwa pihaknya telah menginstruksikan KPUD untuk melakukan verifikasi data lapangan atas temuan WNA dalam DPT. Sudah lebih dari 103 nama yang diterima KPU. KPUD berusaha memverifikasi dengan menemui langsung orang-oran yang disebut dalam DPT. Menurut Viryan, ada beberapa kemungkinan temuan di lapangan. Pertama, sudah tidak ada di DPT (karena langsung dicoret setelah ramai dipemberitaan). Kedua, jika masih ada di DPT akan langsung dicoret. Ketiga, KPU menemukan hal lain di luar kedua kemungkinan tersebut.
UU Adminduk
Kontroversi juga terjadi karena kurangnya pemahaman terhadap peraturan. I Gede Suratha memastikan setiap penduduk yang sudah memenuhi syarat berhak mendapatkan KTP. Siapa yang disebut dengan penduduk? Pasal 1 angka 2 UU No. 24 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas UU No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (Adminduk) menyebutkan penduduk adalah WNI dan orang asing yang bertempat tinggal di Indonesia. Artinya, orang asing yang bertempat tinggal di Indonesia dapat dikualifikasi sebagai penduduk, dan mereka yang memenuhi syarat berhak mendapatkan KTP-el.
(Baca juga: Ketentuan Hukum Soal KTP-Elektronik Bagi WNA).
KTP elektronik adalah KTP yang dilengkapi cip yang merupakan Identitas resmi penduduk sebagai bukti diri yang diterbitkan oleh instansi pelaksana. Suratha menunjuk lebih lanjut Pasal 63 ayat (1) UU Adminduk yang menyebutkan penduduk WNI dan orang asing yang memiliki Izin Tinggal Tetap yang telah berumur 17 tahun atau telah kawin atau pernah kawin wajib memiliki KTP-el. “Penerbitan KTP-el bagi WNA memang atas perintah undang-undang,” tegas Suratha dalam suatu diskusi publik di Jakarta 2 Maret lalu.
Direktur Eksekutif Perkumpulan Pemilu untuk Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini berpendapat ada beberapa hal yang menyebabkan kontroversi KTP-el miliki WNA. Pertama, pemahaman awam publik saat ini secara sederhana memaknai bahwa KTP-el adalah bentuk identitas sebagai WNI. “Jadi awam itu sederhana saja kalau dia memaknai EKTP yaitu identitasnya WNI, belum tentu benar ya itu pemahaman awam,” ujar Titi.
Kedua, ada disparitas atau kesenjangan informasi antara apa yang dipahami publik dengan ketentuan atau peraturan perundang-undangan. Ketiga, kompetisi pemilu 2019 sangat kompetitif bagi peserta pemilu, baik untuk pemilu presiden maupun pemilu legislatif. Pilpres yang hanya memperhadapkan dua pasangan calon sehingga pertarungannya soal suara pada 17 April mendatang tanpa putaran kedua. Sehingga isu-isu berkaitan dengan pemilih dapat langsung direspons.
(Baca juga: Data WNA dalam DPT Mesti Diverifikasi).
Keempat KTP-el ini bertransformasi dari syarat administrasi kependudukan menjadi prasyarat untuk mengakses hak konstitusional sebagi warga negara untuk memilih di Pemilu 2019. Pasal 348 UU No. 7 Tahun 2017 mengatur hanya pemilih ber KTP-el yang bisa menggunakan hak pilihnya pada hari pemungutan suara. Oleh karena itu, KTP-el adalah syarat sangat penting untuk dapat menggunakan hak pilih. “Akhirnya semua peserta Pemilu kan berkepentingan terhadap siapa yang bisa menggunakan hak pilih di Pemilu 2019. Sementara KTP-el instrumen satu-satunya,” ujar Titi.
Kelima, isu ini memang populis untuk “digoreng” karena menyangkut isu yang sensasional dan mudah memprovokasi pemilih secara emosional. Ada warga negara asing di dalam isu ini. Untuk itu, menurut Titi, isu ini secara emosional mudah memprovokasi pemilih Indonesia.
Suratha berharap kontroversi WNA yang memiliki KTP-el tidak lagi menjadi kontroversi karena sesuai amanat Undang-Undang.
Cuma, yang tak terverfikasi di level pelaksana pemilu adalah memastikan apakah WNA tersebut sudah memiliki Izin Tinggal Tetap, karena ini merupakan syarat wajib untuk mendapatkan KTP-el. Lantas, siapa yang bisa memastikan bahwa jika izin tinggal tetap dicabut, maka KTP-el WNA bersangkutan juga dicabut? Dalam konteks Pemilu 2019, KPU dan Bawaslu perlu memastikan isu WNA tidak menimbulkan efek bola salju yang mengganggu pemilu.
Sumber : Hukumonline.com