korupsi-politik-bayangi-pembiayaan-politik-pemilu-2019

Korupsi Politik Bayangi Pembiayaan Politik Pemilu 2019

31 Januari 2019       360        Admin

Perlu kesadaran bersama untuk mencegah pembiayaan illegal.

Della Porta dan A. Vannucci menganalisis kondisi korupsi di Italia yang sangat sistemik di tahun 2002. Mereka lalu mengidentifikasi situasi Italia kala itu tengah mengalami  Partitocratia. Peneliti Fsipol UGM, Mada Sukmajati, mengartikan istilah Italia itu menjadi Partaikrasi. Mada kemudian meminjam Partaikrasi Porta dan Vannucci untuk menganalisis maraknya persoalan korupsi politik di Indonesia dan dampaknya terhadap pembiayaan politik menjelang, saat, dan paska Pemilihan Umum berlangsung.

Partaikrasi sendiri adalah situasi di mana dominasi partai politik yang sangat besar terjadi dalam pemerintahan, proses pengambilan kebijakan publik, bisnis, media massa, bahkan hingga ke kelompok masyarakat sipil. Partai politik dalam model ini, digerakkan oleh politisi profesional sehingga memerlukan pembiayaan yang sangat tinggi. Kondisi ini berakibat pada transformasi partai politik menjadi kartel yang melakukan kolusi untuk menjadi bagian dari negara agar dapat mengakses sumber daya negara. Pada tahap selanjutnya, partai politik menjalankan praktik-praktik korupsi politik secara luas.

Beberapa kasus korupsi yang terungkap di Pengadilan Tipikor memperlihatkan bagaimana pengurus partai politik melakukan beragam cara untuk memperoleh dana dari sumber-sumber tertentu secara melawan hukum untuk membiayai kegiatan partai politik.

Baca juga: Celah Hukum Ini Kerap Digunakan untuk Akali Dana Kampanye

Dalam diskusi di Jakarta, Selasa (28/1), Mada menggambarkan siklus partaikrasi di Indonesia kedalam tiga aktivitas: pembiayaan politik; pembiayaan kampanye; dan korupsi politik. Tidak sulit mencari contoh kasus korupsi politik ditanah air dalam rangka memenuhi kebutuhan partai politik untuk pembiayaan politik dan pembiayaan kampanye menjelang Pemilu berlangsung. Seperti diketahui publik belum lama ini, ada dugaan sejumlah uang hasil korupsi PLTU Riau–1 yang diduga hendak digunakan pada Musyawarah Nasional Luar Biasa Partai Golkar. “Ini menjadi contoh sempurna dari pembiayaan politik menggunakan uang hasil korupsi,” ujarnya.

Contoh lain bisa dilihat pada kasus korupsi proyek Hambalang, korupsi KTP Elektronik, korupsi berjamaah di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi (DPRD) Sumatera Utara, korupsi berjamaah di DPRD Kota Malang, dan sejumlah korupsi yang dilakukan oleh kepala daerah, merupakan bentuk-bentuk korupsi politik yang pernah terjadi.

Belum lama, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) merilis buku yang berujudul Pemibayaan Pemilu di Indonesia. Berdasarkan analisis dalam buku ini, sumber pembiayaan pemilu semakin bergantung pada para calon secara individual seperti tercermin dalam pembiayaan di pemilihan anggota legislatif dan pemilihan kepala daerah. Sebaliknya, peran partai politik dalam pembiayaan kampanye, baik sebai peserta pemilu dalam konteks pileg maupun sebagi pengusung dalam pilkada dan pilpres, ternyata semakin menurun.

Jumlah dan variasi sumbangan dari pihak ketiga dalam konteks pilpres dan pilkada semakin beragam. Dari sumbangan pihak ketiga dalam penyelenggaraan pilpres dan pilkada, ada  fenomena sumber pendanaan gelap yang kemudian dapat berpotensi mendorong praktek-praktek korupsi politik.

Menguatnya fenomena pembiayaan pemilu yang semakin bergantung kepada para calon secara individual, August Mellaz dari Sindikasi Pemilu Demokrasi memapar data belanja kampanye pemilihan anggota legislatif pada Pileg 2014. Menurut data Sindikasi Pemilu Demokrasi, belanja kampanye pileg 2014 menunjukkan makin menguatnya sisi personal atau orientasi kompetisi pemilu berbasis caleg jika dibandingkan partai politik. Sebagai perbandingan, Laporan Awal Dana Kampanye (LADK) pada pileg 2014 kurang lebih 1,2 tiliiun rupiah yang digunakan sebagai acuan. “Belanja kampanye yang mencerminkan sisi pengeluaran personal caleg menyedot sebesar 80,93 persen dari total belanja,” terang August.

Orientasi belanja kampanye sendiri terdiri dari aktivitas yang terpusat oleh calon seperti pertemuan terbatas, pertemuan tatap muka, penyebaran bahan kampanye, pemasangan alat peraga, dan kegiatan lain yang merupakan aktivitas caleg. Ada pula aktivitas yang terpusat pada partai seperti rapat umum, iklan kampanye, dan pengeluaran modal sebesar 19,07 persen.   Lantas bagaimana dengan Pileg 2019?

August Mellaz menilai secara teoritis sistem yang ada tidak banyak berubah. Oleh karena itu, orientasi kompetisi Pileg 2019 tetap akan berbasis pada sisi popularitas dan personalitas caleg. Agar terpilih, setiap caleg dituntut untuk bisa meningkatkan popularitas, dan aktivitas kampanye yang secara personal dibiayai oleh caleg sendiri. Satu variabel yang hanya terjadi tahun ini adalah tersedotnya konsentrasi dan perhatian publik pada isu Pilpres 2019 sehingga isu pileg jadi tereduksi.

Meski begitu ada kejanggalan dari aspek laporan dana kampanye di periode yang sama antara tahun 2014 dengan 2019. Pada tahun 2014 Laporan Awal Dana Kampanye (LADK) sebesar Rp1.247.192.258.528, sedangkan LADK untuk pileg 2019 mencapai Rp237.638.252.893. Laporan Penerimaan Sumbangan Dana Kampanye (LPSDK) pada pileg 2014 sebesar Rp2.192.228.457.323, dan LPSDK pileg 2019 mencapai Rp427.151.741.325. Total nilai LPSDK Pileg 2019 (19,48 persen) atau seperlima dari LPSDK Pileg 2014. Menurut August Mellas hal ini menimbulkan tanda tanya besar. Oleh karena jarak yang sangat tinggi antara dana kampanye pileg 2019 dibanding 2014.

Baca juga: Partai Mana Paling Banyak Dapat Sumbangan Dana Kampanye? Simak Daftarnya

Dari total laporan senilai Rp427.151.741.325 oleh 16 partai politik, total sumbangan penerimaan dari calon berjumlah Rp337.856.293.303 atau 79,10 persen dari total. 79,10 persen penerimaan dari caleg. Ini secara konsisten menunjukkan orientasi personal di Pileg 2019 sama kuatnya dengan Pileg 2014. Partai politik sebagai entitas peserta pemlu hanya berkontribusi sebesar 20,9 persen dan kurang dari satu persen lainnya berasal dari sumbangan perseorangan.

Menurut August Mellas, pembiayaan Pileg 2019 akan lebih besar dibandingkan Pileg 2014 mengingat kompetitifnya sistem pemilu dan menguatnya orientasi personal caleg. Perlu kesadarasan bersama dalam konteks pengawasan pembiayaan kampanye pileg, terutama mencegah potensi penggunaan sumber-sumber pembiayaan yang bersifat illegal dalam kampanye dan jelang hari pemungutan suara. Mengingat dimensi kompetisi dari pilegg yang luas dan melilbatkan banyak aktor, perlu menjadi perhatian bagi para pihak seperti KPU dan Bawaslu, PPATK, KPK, dan pihak lainnya

Sumber : Hukumonline.com.