krumuk-tumuk-pemilihan-komisaris-bumn

Krumuk Tumuk Pemilihan Komisaris BUMN

06 September 2018       1164        Admin

Pada tanggal 11/4/2017, Presiden Joko Widodo telah melantik Saldi Isra sebagai Hakim Mahkamah Konstitusi. Sesuai dengan aturan yang berlaku, semua jabatan yang melekat pada Saldi harus ditanggalkannya, termasuk jabatan Komisaris Utama PT. Semen Padang (PTSP) yang diembannya sejak beberapa bulan yang lalu. Dengan demikian, dalam beberapa hari ke depan akan ada penyelenggaraan Rapat Umum Pemegang Saham PTSP untuk mengisi kekosongan itu.

Sudah menjadi rahasia umum, jabatan komisaris (sebagian besar) merupakan jatah untuk orang-orang dekat penguasa yang sudah ‘berkeringat’ mendudukkan penguasa di kursi kekuasaannya. Itu sebabnya, kecuali komisaris BUMN sektor perbankan, pengangkatan komisaris BUMN dan anak usahanya dilakukan secara tertutup atau tidak transparan dan tidak melalui mekanisme uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test) atau proses yang krumuk-tumuk.

Karena syaratnya hanya ‘berkeringat’, kompetensi seorang calon komisaris BUMN dan anak perusahaan BUMN tidak diperlukan benar. Ada boleh, tidak pun tak apa-apa. Makanya publik tidak perlu heran bila seorang ahli politik, ahli hukum administrasi atau tata negara ataupun ahli demo tiba-tiba diangkat menjadi komisaris BUMN atau anak perusahaan BUMN. Tidak paham seluk beluk bisnis, tidak mengerti hukum perusahaan dan tata kelola (governance) perusahaan, bukan pula menjadi halangan berarti untuk menjadi seorang komisaris di perusahaan pelat merah.

Sebagai salah satu anak perusahaan BUMN, praktik umum pengangkatan komisaris BUMN dan anak perusahaanya juga berlaku di PTSP. Siapa yang akan menjadi komisaris di perusahaan semen tertua di Indonesia itu sepenuhnya menjadi hak pihak Istana yang secara formal diputuskan oleh orang PT Semen Indonesia (Persero) Tbk sebagai pemegang saham terbesar melalui RUPS.

Dari sudut pandang hukum positif, tidak ada yang salah dengan pengangkatan komisaris BUMN dan usahanya secara tertutup dan tanpa melalui fit and proper test itu. Tidak ada aturan yang terlanggar. Lihatlah beragam ketentuan terkait tentang itu. Mulai dari Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2005 yang sudah diubah dengan Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2005 tentang Pengangkatan Anggota Direksi dan Komisaris/ Dewan Pengawas Badan Usaha Milik Negara, Peraturan Menteri BUMN Nomor PER-03/MBU/2012 tentang Pedoman Pengangkatan Anggota Direksi dan Anggota Dewan Komisaris Anak Perusahaan BUMN sampai Peraturan Menteri BUMN Nomor PER 02/MBU/02/2015 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pengangkatan dan Pemberhentian Anggota Dewan Komisaris dan Pengawas Badan Usaha Milik Negara. Tidak satupun di antara aturan-aturan itu yang mengharuskan seorang calon komisaris BUMN dan anak-anak usahanya untuk diseleksi secara terbuka dan melewati hadangan fit and proper test.

Akan tetapi, dari sudut governance, pengangkatan komisaris perusahaan-perusahaan pelat merah secara terbuka dan melalui fit and proper test bernilai sangat penting. Pasalnya, jabatan komisaris di perusahaan-perusahaan yang modalnya berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan itu merupakan jabatan publik yang harus diisi secara transparan. Sebagaimana diketahui, transparansi adalah salah satu prinsip good corporate governance (tata kelola perusahaan yang baik) yang secara formal dianut oleh perusahaan-perusahaan Indonesia (termasuk BUMN dan anak perusahaan BUMN), disamping empat prinsip lainnya, accountability, responsibility, independence dan fairness.

Pengisian jabatan komisaris BUMN dan anak-anak perusahaannya tanpa melalui fit and proper test juga tidak sejalan dengan konsep ‘Pemerintah sebagai acting shareholders BUMN’. Menurut konsep ini, pemerintah bukanlah pemilik atau pemegang saham BUMN yang sebenarnya. Keberadaan pemerintah di BUMN hanyalah sekadar wakil dari rakyat sebagai pemilik atau pemegang saham (ultimate shareholders) BUMN. Sebagai acting shareholders, peran pemerintah tentu tidak bisa seleluasa pemegang saham di perusahaan-perusahaan swasta. Pada perusahaan-perusahaan swasta (terutama perusahaan swasta yang lembaran sahamnya menumpuk pada satu tangan seperti perusahaan keluarga), pemegang saham dibenarkan mengambil kebijakan apa saja yang mereka inginkan melalui rapat umum pemegang saham. Misalnya, jika pemegang saham ingin memilih seorang komisaris sambil tidur pun tidak ada yang melarang. Karena, hal baik atau buruk yang terjadi pada perusahaan swasta akan menjadi keuntungan dan risiko personal langsung para pemegang sahamnya.

Soal pengangkatan komisaris, BUMN dan anak perusahaan BUMN tertinggal jauh dari perusahaan-perusahaan pelat merah yang berbasis lokal. Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) yang ada di setiap daerah, misalnya, melalui Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 2 Tahun 2007 mengharuskan rekrutmen anggota dewan pengawas (memiliki peran dan fungsi yang sama dengan dewan komisaris) secara terbuka dan melalui mekanisme fit and proper test yang dilakukan oleh panitia seleksi khusus. Siapapun yang merasa mampu boleh mendaftarkan diri sebagai calon anggota dewan pengawas PDAM. Di Padang, akhir tahun lalu juga dipraktikkan pemilihan dewan pengawas (juga direksi) Perusahaan Umum Daerah (Perumda) Padang Sejahtera Mandiri yang menjunjung tinggi prinsip-prinsip governance dan konsep ‘Pemerintah sebagai acting shareholders’. Padang Sejahtera Mandiri adalah sebuah Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) yang didirikan melalui Peraturan Daerah Nomor 10 Tahun 2014 yang modalnya berasal dari kekayaan daerah Kota Padang yang dipisahkan.

Seharusnya praktik serupa juga diterapkan pada semua BUMN dan anak-anak perusahaannya. Bisakah itu dilakukan? Bisa. Semuanya tergantung niat baik Pemerintah. Kalau niat baik itu ada, Pemerintah tinggal merevisi aturan-aturan terkait pemilihan komisaris untuk disesuaikan dengan prinsip governance dan konsep ‘Pemerintah sebagai acting shareholders’. Rekrutmen komisaris secara terbuka dan melalui fit and proper test tidak hanya bermanfaat untuk perusahaan, tapi juga baik untuk menaikkan moral para komisaris itu sendiri karena mereka ada di perusahaan melalui proses yang benar, tidak proses yang krumuk-tumuk.

by: Miko Kamal, PhD.