
Legitimasi Pemilu 2019 Terbebani Sejumlah Kasus
11 Januari 2019 756 Admin
Perbedaan paradigma penyelenggara dan pengawas pemilu membuat masyarakat bingung. Sejumlah pekerjaan rumah masih harus diselesaikan sebelum 19 April 2019.
Terbilang hitungan bulan menjelang Pemilu Serentak 2019, legitimasi masih menjadi persoalan. Kepercayaan publik, yang menjadi dasar legitimasi, tercoreng oleh sejumlah kasus yang muncul ke permukaan. Penelii senior Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Syamsudin Haris, menyebut kepercayaan publik sebagai fondasi penting penyelenggaraan pemilu. Dengan mendapatkan informasi yang benar, masyarakat bisa membedakan mana pemilu yang demokratis, dan mana yang sekadar pemilu saja. “Untuk itu, perlu mengupayakan Pemilu memiliki legitimasi,” ujarnya, di Jakarta, Kamis (10/1).
Syamsudin menyampaikan harapan itu ketika menjadi pembicara dalam diskusi Catatan Awal Tahun Perludem. Dalam diskusi itu memang terungkap sejumlah kekhawatiran dan harapan terhadap Pemilu Serentak 2019. Salah satu yang dikritik adalah putusan yang berbeda dan saling bertentangan antara Komisi Pemilihan Umum, Bawasan Pengawas Pemilu, dan pengadilan berkaitan dengan proses pencalonan Ketua Dewan Perwakilan Daerah, Oesman Sapta Odang (OSO).
KPU mencoret nama OSO dari daftar calon DPD karena hingga batas akhir yang ditetapkan KPU, OSO tak bersedia mundur dari jabatan Ketua Umum Partai Hanura. Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi menyebutkan pengurus partai politik tidak bisa mencalonkan diri sebagai anggota DPD. OSO berjuang lewat pintu lain, Pengadilan Tata Usaha Negara. Berbekal kemenangan di pengadilan inilah OSO memperjuangkan nasibnya. Ia berhasil. Bawaslu memerintahkan KPU memasukkan nama OSO ke dalam daftar calon tetap (DCT) perseorangan DPD untuk Pemilu 2019. Jika nanti OSO terpilih, KPU wajib meminta yang bersangkutan untuk mengundurkan diri dari pengurus partai politik, paling lambat satu hari menjelang penetapan calon terpilih di dalam Pemilu 2019.
Putusan itu dikritik Titi Anggraini. Direktur Eksekutif Perludem ini menilai putusan Bawaslu ‘meruntuhkan’ kepercayaan terhadap pemilu. “Putusan ini jujur saja, meski sempat dikhawatirkan akan muncul, tetapi kami sangat percaya Bawaslu akan jadi lembaga yang akan menjadi penegak keadilan pemilu, sesuai dengan jargon yang disuarakan selama ini. Namun ternyata semua itu runtuh,” ujarnya.
Dalam penilaian Titi, selama ini Bawaslu mengambil posisi bersama konstitusi ketika menyikapi persoalan kepemiluan. Contohnya, posisi narapidana kasus korupsi dalam proses pencalonan. Dengan menggunakan paradigma konstitusi, Bawaslu menegaskan pentingnya menghargai hak asasi manusia, sekalipun yang bersangkutan pernah berstatus narapidana korupsi. Tetapi Titi tidak melihat paradigma konstitusi itu dipakai Bawaslu dalam kasus pencalonan pengurus parpol di DPD.
Putusan Mahkamah Konstitusi No. 30/PUUXVI/2018 eksplisit menyebutkan sejak Pemilu 2019 dan pemilu-pemilu setelahnya, pengurus partai politik tidak dibolehkan lagi menjadi calon anggota DPD. Menurut Titi, putusannya Bawaslu justru memberi norma baru, bahwa boleh saja seorang kandidat yang tidak mau mundur sebagai pengurus partai politik tetap menjadi calon anggota DPD, asalkan menyatakan mundur sebagai pengurus parpol ketika terpilih. Dan, KPU yang harus mengingatkan kandidat bersangkutan untuk mundur. “Ini jelas sesuatu yang keliru. Putusan ini tidak ada alas hukumnya,” tegas Titi.
Perludem berpandangan putusan MK berbicara tentang syarat pecalonan, bukan syarat calon terpilih. Pada titik pencalonanlah larangan terhadap pengurus partai politik itu untuk ikut serta sebagai kontestasi pemilu, bukan setelah terpilih dan syarat ditetapkan sebagai calon terpilih. Perludem menilai persiapan Pemilu 2019 berada di alarm kuning. Jika pelaksanaan tahapan yang berkali-kali keluar dari pakem hukum dibiarkan, integritas penyelenggaraan pemilu jadi taruhan. Menurut Perludem, Pemilu 2019 berada di tengah kompleksitas teknis, perdebatan konstitusionalitas tata kelola pemilu, dan tantangan pada legitimasi pemilu. Pada saat yang sama penyelenggara pemilu juga diuji profesionalisme dan integritasnya.
Kasus lain yang menjadi beban Pemilu 2019 adalah hoaks. Penyebaran berita bohong sudah menjadi kasus hukum yang ditangani polisi. Ratna Sarumpaet bukan satu-satunya orang yang dinyatakan tersangka dalam konteks hoak. Terakhir, polisi harus bekerja keras mengungkap hoaks tujuh container surat suara yang sudah tercoblos.
Guru besar Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI), Topo Santoso mengatakan, untuk menyikapi hal ini harus ada hukuman tegas dan berat bagi para pelaku agar ada efek jera untuk siapapun para penyebar hoaks yang bisa mengganggu kredibilitas, integritas, dan legitmasi pemilu ini. Ini juga penting agar pihak-pihak yang mungkin masih berencana menyebar hoaks bisa mengambil pembelajaran dan mengurungkan niatnya, sebab hukum tidak memberi toleransi tindakan ini.
Kompleksitas Hari H
Perludem menyebutkan kompleksitas teknis pungut-hitung Pemilu 2019 sangatlah luar biasa. KPU bisa mendesain peraturan dengan sangat bagus, tapi mungkin saja pemahaman itu tidak sampai ke bawah. Misal, soal isu disabilitas mental baru-baru ini. Pengalaman 2018, ternyata pemahaman KPU soal hak pilih penyandang disabilitas mental tidak dipandang utuh oleh banyak jajaran di bawah. Oleh karena itu, salah satu tantangan besar KPU adalah memastikan 7 juta personilnya bekerja sesuai dengan prosedur yang sudah ditetapkan oleh KPU.
Selain itu beberapa hal yang harus diantisipasi oleh penyelenggara pemilu terkait kompleksitas hari H Pemilu, misalnya kemungkinan adanya penggunaan KTP-El palsu untuk penggunaan hak pilih, proses pungut-hitung yang berlarut-larut melampaui tenggant waktu yang diatur UU, pemahaman dan kinerja teknis penyelenggara di tingkat KPPS yang tidak terstandar.
Demikian juga dengan layanan optimal bagi warga negara dalam menggunakan hak konstitusional untuk ikut pemilu adalah sebuah kewajiban. Namun regulasi Pemilu 2019 terancam mengganggu pemenuhan hak tersebut. Pemberlakuan KTP Elektronik sebagai syarat penggunaan hak pilih bagi mereka yang belum terdaftar dalam DPT akan menjadi hambatan tersendiri. Perludem berpandangan, jika memang warga negara Indonesia memang ada, jelas di mana orang tersebut tinggal, dan sudah berusia 17 tahun atau sudah/pernah kawin, maka yang bersangkutan mesti didaftar sebagai pemilih. Ruang inilah yang mesti dipastikan oleh KPU bisa diberikan kepada pemilih, yang hari ini belum masuk ke dalam DPT, dan juga belum memiliki KTP-el.
KPU juga harus pastikan jaminan penggunaan hak pilih pada pemilih berpindah apalagi dengan adanya ketentuan surat pindah pemilih 30 hari sebelum hari pemungutan suara yang secara teknis akan menyulitkan bagi pemilih yang harus bergerak atau mobile dalam waktu kurang dari 30 hari sebelum hari pemungutan suara. Mereka terancam bisa kehilangan hak pilihnya pada Pemilu 2019. Termasuk pula fasilitasi penggunaan hak pilih bagi pemilih di RS, lembaga pemasyarakatan, rumah tahanan, dimana KPU memutuskan tidak akan membuat TPS khusus.
Hari ini, meskipun DPT sudah ditetapkan oleh KPU pada 15 Desember 2018 lalu, pada faktanya masih banyak penyandang disabilitas mental, terutama yang tinggal di panti sosial, belum didaftar sebagai pemilih. Padahal, mereka sudah memenuhi syarat sebagai pemilih, yakni sudah 17 tahun atau sudah atau pernah menikah. KPU mesti tetap memberikan ruang bagi penyandang disabilitas, terutama disabilitas mental untuk bisa masuk ke dalam DPT, melalui ruang DPT perbaikan.
KPU perlu terus berhati-hati, terutama dalam menyiapkan instrumen hukum dalam perlindungan hak pilih warga negara. Untuk penyandang disabilitas mental, stigma atau persepsi negatif bagi sebagian penyelenggara pemilu di tingkat provinsi, kabupaten/kota hingga level KPPS harus pelan-pelan diluruskan oleh KPU. Ini penting untuk meneguhkan peran KPU sebagai alat negara atau fasilitator pemenuhan hak pilih warga negara.
Antisipasi Serangan Siber
Terhadap isu ini, Perludem memandang penting agar KPU menerima rekomendasi dari berbagai pakar keamanan siber dan aplikasi IT. Salah satu akademisi dari Fakultas Ilmu Komputer Universitas Indonesia, Denny misalnya, menyarankan tiga hal. Satu, mengisolasi sistem, server, dan jaringan sistem teknologi informasi penghitungan suara KPU (Situng) serta sistem IT KPU lainnya dari sistem dan jaringan umum. Dua, seluruh sistem IT KPU harus memenuhi sertifikasi ISO 27001. Tiga, memperkuat personil Tim IT KPU dan membagi tugas Tim ke dalam kelompok pencegahan, penanganan, dan audit.
Pemilu 2019 adalah pemilu yang menggabungkan antara pemilihan presiden-wakil presiden dengan pemilihan legislatif tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten/kota, serta pemilihan anggota DPD untuk pertama kalinya. Lima pemilihan dalam satu hari, ditambah dengan cakupan daerah pemilihan yang luas dan jumlah pemilih yang besar, yaitu 192.828.520, merupakan beban berat bagi penyelenggara pemilu. Hasil cepat yang dipublikasi melalui Situng merupakan tradisi sejak Pemilu 2014. KPU diharapkan mampu memberikan pelayanan informasi yang dapat diakses kapan saja oleh publik dan terjamin keamanannya.
Pasca Pilkada 2017, politik Indonesia terpolarisasi secara ekstrim ke dalam dua kelompok politik. Kondisi ini diperparah dengan maraknya produksi berita bohong sebagai salah satu strategi kampanye. 2019 diprediksi sebagai titik kulminasi pertentangan antar kedua kelompok. Di tengah kondisi inilah, seluruh sistem IT KPU, terutama Situng, tak boleh menjadi objek yang menyebabkan proses pungut-hitung suara terdelegitimasi. Penggunaan teknologi harus mampu menjawab tantangan sosio-politik dalam negeri.
Perludem juga mencatat pentingnya mencegah penyalahgunaan data pribadi dan kualitas demokrasi. Jangan sampai terjadi jual beli data pribadi untuk disalahgunakan salah satu pihak dalam pemilu.
Sumber: hukumonline.com