
Mengintip Praktik Mediasi di Berbagai Bidang
15 November 2018 601 Admin
Setelah hampir 6 (enam) bulan melakukan evaluasi terhadap lembaga-lembaga penyelenggara sertifikasi mediator, akhirnya Ketua Mahkamah Agung (MA) memberlakukan KMA No.117/KMA/SK/VI/2018 tentang Tata Cara Pemberian dan Perpanjangan Akreditasi Lembaga Penyelenggara Sertifikasi Mediator Bagi Mediator Non Hakim.
Dalam rangka menjalankan KMA a quo, MA bekerjasama dengan Lembaga Administrasi Negara (LAN) sebagai mitra pelatih menggelar ‘Pelatihan untuk Pelatih’ (Training of Trainers) mediasi yang diselenggarakan selama 3 hari, yakni Senin - Kamis (12-15 November) di Jakarta.
Menghadiri kegiatan itu, hukumonline mewawancarai beberapa peserta ToT yang berasal dari berbagai bidang, yakni mediator medis, lingkungan & pertanahan, perkawinan Islam & ekonomi syariah serta mediator komunitas.
Penasaran apa saja yang dilakukan oleh mediator lintas komunitas ini? Apa saja tantangan dan hambatan yang mereka hadapi? Bagaimana upaya yang mereka tempuh agar berhasil menyelesaikan tantangan dan hambatan itu? Simak penelusurannya berikut ini.
Mediator Medis (Bidang Kesehatan)
Bicara soal mediator medis, erat hubungannya dengan mendamaikan para pihak yang tak terima atas hasil upaya medis yang tak sesuai harapan, dalam kata lain malapraktik. Mediator yang tergabung dalam Asosiasi Mediator Kesehatan Indonesia (AMKI), Machli Riyadi, menceritakan bahwa kecenderungan masyarakat ketika merasa dirugikan akibat malapraktik atau merasa tak puas dengan pelayanan yang diberikan dokter, perawat ataupun bidan maka langsung menempuh jalur pidana, melaporkan ke Ombudsman atau Polisi. Padahal, kata Machli, malapraktik tak selalu masuk dalam domain hukum pidana.
Saat ditanya alasan Machli mengkategorikan malapraktik masuk juga dalam domain hukum perdata, ia menjelaskan bahwa sifat hubungan hukum antara dokter dengan klien dinamakan dengan ‘spanning verbintenis’ bukan ‘resultat verbintenis’. Artinya, tak ada satupun perawat, dokter atapun bidan yang memperjanjikan hasil, sehingga apabila mereka telah berupaya semaksimal mungkin, namun hasil tak sesuai harapan maka itu namanya risiko medis.
“Ingat, sehat dan sembuh itu bukanlah objek yang diperjanjikan,” tukas Machli.
Bahkan jika dirujuk Pasal 29 UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, jelas mengamanatkan adanya sebuah ‘keharusan’ untuk menempuh proses mediasi tatkala kelalaian terjadi. Begitupun dengan ketentuan lain yang menyebutkan bahwa pasien berhak untuk menuntut ganti rugi. Unsur ganti rugi yang diawali proses mediasi itulah yang menguatkan pendapat Machli bahwa malapraktik juga masuk dalam domain ‘perdata’.
Seringkali, sebut Machli, polisi menjerat dokter/perawat/bidan menggunakan Pasal 359 dan 360 KUHPidana ketika perkara sudah sampai di tangan kepolisian. Sementara, Machli meyakini tak ada unsur ‘mens rea’ atau kesengajaan dalam kegagalan upaya medis yang dilakukan, baik oleh dokter/perawat atau bidan itu tadi. Segala sesuatunya betul-betul terjadi di luar kekuasaan mereka. Untuk mendamaikan para pihak merupakan tantangan yang tak mudah tapi harus berhasil dilakukan oleh mediator medis.
Mediator Lingkungan dan Pertanahan
Apa yang terlintas di benak anda saat pertama kali mendengar ‘sengketa lingkungan’? Jelas akan terbayang berbagai bentuk kerusakan lingkungan hingga menyebabkan kerugian yang melibatkan sekelompok masyarakat atau banyak orang (collective). Jadi barang tentu tak semua pihak hadir dalam proses mediasi. Mediator sekaligus Programme Manager pada Impartial Mediator Network, Rian Hidayat, mengatakan karena itulah dalam mediasi lingkungan harus digunakan sistem representasi yang biasanya tergabung dalam Tim Negosiasi.
Untuk memastikan bahwa orang yang hadir itu betul-betul merepresentasikan kepentingan korban menjadi tantangan tersendiri bagi mediator lingkungan, agar setelah proses mediasi berakhir tak ditemukan suara-suara keberatan karena merasa tak pernah dilibatkan dalam proses mediasi. Dari sekitar 300 hingga 400 kepala keluarga misalnya, bisa ditentukan melalui diskusi yang disepakati bersama terkait siapa saja yang ditunjuk sebagai tim perunding dalam proses mediasi dan negosiasi nantinya.
Tantangan lainnya, memberikan pemahaman kepada masyarakat soal rumusan apa yang dinegosiasikan. Tak bisa dipungkiri, kerusakan lingkungan yang marak terjadi di areal pedesaan jelas melibatkan masyarakat desa uang tidak semuanya paham apa itu mediasi, apakah tuntutan ganti kerugian yang mereka minta rasional atau irasional. Terkadang, ungkap Rian, tak jarang masyarakat desa yang meminta pabrik ditutup karena menghasilkan limbah. Padahal, jelas untuk menutup pabrik bukanlah wewenang mediator, melainkan otoritas pemerintah sebagai pemberi dan pencabut izin.
“Hal-hal seperti itu yang mediator lingkungan perlu berikan treatment,” kata Rian.
Adapun tantangan dari sisi Pemerintah, kata Rian, berlangsungnya proses mediasi tetap tak menghalangi pemerintah untuk memproses hal itu ke jalur pidana. Di sinilah pentingnya mediator mampu memetakan pihak-pihak manasaja yang mempunya kepentingan untuk perkara itu, terlibatnya semua stakeholder sangat penting demi efektifnya pelaksanaan mediasi.
Menghadapi hal itu, setidaknya ada dua hal yang bisa dilakukan mediator lingkungan, kata Rian. Pertama, mendatangi dan menjelaskan kepada pihak pemerintah yang bersangkutan bahwa sedang dilakukan proses mediasi untuk perkara tersebut.
Kedua, menghadirkan pihak pemerintah itu dalam proses mediasi sebagai pengamat yang didalam mediasi membicarakan soal pemulihan sungai yang tercemar, proses pemberian izin yang telah melewati berbagai tahapan analisis dampak lingkungan (AMDAL) hingga melibatkan pemerintah sebagai pengawas atas hasil kesepakatan kedua belah pihak.
“Jadi sangat penting melibatkan pemerintah sebagai co-mediator,” tukas Rian.
Selain Perkara lingkungan, Rian juga menangani mediasi sengketa pertanahan, kasus-kasus konflik lahan antar masyarakat dan perusahaan, misalnya ternyata terdapat hak-hak masayarakat yang selama ini belum pernah dipenuhi oleh perusahaan sementara pemerintah telah mengeluarkan izin clean and clear atau untuk sektor perkebunan sertifikat Hak Guna Usaha (HGU) sudah dikeluarkan oleh BPN. Dalam case ini, ketika masyarakat menuntut haknya, di sisi lain perusahaan juga menuntut haknya karena telah mendapatkan izin yang sah dari pemerintah.
Terlebih sertifikat di bawah tahun 2000 atau sebelum reformasi biasanya masih girik karena itu masyarakat tiba-tiba banyak yang mengaku tanah yang digunakan perusahaan adalah tanah nenek moyangnya (waris) dan sebagainya. Di situ mediator bisa hadirkan pengamat untuk menjelaskan proses yang dilalui perusahaan untuk mendapatkan HGU. Pokok persoalan inilah yang disebut Rian nantinya dapat dinegosiasikan,
Solusi yang biasanya diambil, kata Rian, tak perlu harus mengubah HGU, perusahaan bisa bernegosiasi untuk membayar sewa tanah atau memberikan kompensasi lahan per hektar yang digunakan. Sedangkan jika para pihak bersepakat untuk merevisi HGU, persoalan lain yang muncul belum tentu BPN ‘mau’ merevisi HGU tersebut.
“Jadi sewa dan kompensasi, itu solusi yang paling memungkinkan dalam konflik lahan,” tukas Rian.
Mediator Perkawinan dan Ekonomi Syariah
Ada dua hal yang menjadi fokus dalam perkara mediasi syari’ah yang disebutkan oleh Direktur Pusdiklat Asosiasi Pengacara Syariah Indonesia (APSI), Agus Supriyanto, yakni perkara bidang Ahwalusyakhsiyyah (hukum keluarga) dan bidang hukum ekonomi syari’ah. Untuk kasus hukum keluarga, peran mediator didominasi oleh perkara-perkara perceraian dengan tantangan terbesarnya adalah mendamaikan hati yang tercerai-berai. Pendekatan yang digunakan untuk menangani perkara ini berpegang pada pendekatan keagamaan dari sisi fikih munakahat.
Di sini, kata Agus, para pihak diarahkan untuk kembali merenungkan tujuan pernikahan untuk membangun rumah tangga yang sakinah, mawaddah warahmah (Samawa) yang memang tidak bisa diperoleh dengan mudah. Pasti ada ujian dan cobaan yang harus dilalui pasangan untuk memperoleh predikat ‘Samawa’ itu, misalnya persoalan ekonomi, karir hingga masuknya pihak ketiga. Persoalan itulah yang harus bisa diuraikan oleh mediator berdasarkan informasi yang didapatkan dari para pihak, agar ditemukan jalan keluar yang tepat.
“Jadi memang tidak mudah, karena objek mediasinya bukan benda, tapi hati,” tukas Agus.
Ditambahkan oleh Humas Mahkamah Agung yang telah lama memainkan peran sebagai mediator di berbagai perkara perceraian, Muhammad Nur, bahwa tantangan terbesar bagi mediator keluarga adalah mempertahankan suasana hati para pihak, karena hati yang rentan berbolak balik seringkali mengingkari kesepakatan yang telah ditetapkan pada pertemuan mediasi.
“Ibaratkan segelas air yang tumpah dan berserak, tugas mediatorlah untuk menyatukan kembali air yang berserak itu ke tempatnya semula. Bisa dibayangkan, jelas itu bukanlah perkara mudah,” kata Nur.
Sedangkan dalam bidang Ekonomi Syariah (Eksyar), Agus, mengatakan sejak awal tahun 2015 perkara-perkara Eksyar mulai banyak masuk ke Pengadilan, sehingga peluang mediasinya juga semakin meningkat. Hanya saja, diakui Agus bahwa penyelesaian perkara Eksyar memang lebih mudah ketimbang perkara perceraian. Karena persoalan harta cenderung lebih mudah dinegosiasikan, kata Agus, terkadang bisa disepakati tak usah ganti rugi full dengan dendanya, cukup bayar pokoknya saja atau bahkan bisa juga ambil solusi restrukturisasi hutang, penyelamatan akad/perjanjian, reconditioning dan berbagai opsi lainnya.
“Jadi kalau sudah sama-sama untung dalam negosiasi, mau cari apalagi?” tukas Agus.
Mediasi Komunitas
Seiring lahirnya Perda Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) No.9 Tahun 2018 tentang Bale Mediasi, maka ruh-ruh musyawarah mufakat melalui Pengadilan Adat kembali dihidupkan setelah sekian lama dihapuskan oleh UU Darurat No.1 Tahun 1951 tentang Tindakan-tindakan Sementara untuk Menyelenggarakan Kesatuan Susunan Kekuasaan dan Acara Pengadilan-Pengadilan Sipil.
Seperti diketahui, UU a quo telah menghapuskan eksistensi Pengadilan-Raja/Kesunanan, Pengadilan Swapraja, Pengadilan adat yang didalamnya termasuk eksistensi ‘hakim perdamaian desa’, Mahkamah Justisi Makassar dan sebagainya.
Didirikan pada akhir Desember 2015 hingga diperkuat melalui Perda 9/2018, jelas membuat eksistensi Bale Mediasi sebagai wadah mediator komunitas semakin menguat. Dengan begitu, penyelesaian sengketa yang bernafaskan nilai-nilai kearifan lokal yang mengutamakan musyawarah mufakat dalam komunitas akan lebih kuat ketimbang memperpanjang perkara ke jalur hukum (pengadilan) yang bahkan menyisakan residu dendam didalam bathin masing-masing pihak yang berperkara.
Memperkuat fungsi Bale Mediasi ini, Ketua Bale Mediasi, Lalu Mariyun, yang juga merupakan Mantan Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan ini menargetkan sebanyak 1146 kepala desa dan kelurahan menjadi mediator Bale Mediasi, sehingga serapan perkara masyarakat desa dapat dituntaskan melalui musyawarah mufakat, pada gilirannya juga akan berkontribusi mengurangi tumpukan perkara di Pengadilan.
“Katakanlah 500 saja realisasi kepala desa/lurah yang jadi mediator, jelas masalah-masalah masyarakat bisa lebih banyak terselesaikan dan tidak sampai masuk ke pengadilan. Bahkan ini juga bisa membantu polisi, karena dalam Perda kita tak hanya memediasi perkara perdata tapi bisa juga pidana ringan,” kata Lalu.
Menangkap kebutuhan komunitas, Bale Mediasi bahkan disebut Lalu tak hanya mewadahi mediator tersertifikasi. Karena di komunitas, katanya, tak bisa menutup mata bahwa banyak tokoh-tokoh masyarakat yang disegani dalam pendamaian pihak berperkara tanpa harus bersertifikasi.
Misalnya, kata Lalu, tetua atau tokoh adat, tokoh agama, tokoh masyarakat, semua itu bisa dilibatkan dalam proses mediasi. Secara hukum pun, sebut Lalu, Pasal 36 Perma No. 1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan telah membuka peluang adanya peran mediator yang tidak bersertifikasi.
Untuk diketahui, dalam Pasal 36 ayat (1) Perma a quo disebutkan bahwa para pihak yang berhasil menyelesaikan sengketa di luar pengadilan hingga lahir kesepakatan perdamaian sekalipun tanpa bantuan mediator bersertifikat tetap dapat mengajukan gugatan untuk memperoleh Akta Perdamaian dari Pengadilan.
Source : hukumonline.com