mengurai-benang-kusut-problematika-pembebasan-lahan-serta-solusinya

Mengurai Benang Kusut Problematika Pembebasan Lahan Serta Solusinya

17 Desember 2018       1015        Admin

Kegagalan dalam proses negosiasi soal ganti kerugian inilah yang seringkali mengakibatkan proyek mangkrak lantaran pembebasan lahan terhambat bahkan hingga bertahun-tahun.

Perihal penentuan ganti kerugian memang kerap menjadi isu yang sangat krusial dalam menentukan ‘disetujui atau tidaknya’ suatu pembebasan lahan oleh pemilik sebelumnya. Layaknya sistem jual beli, pemilik tanah jelas menginginkan ganti rugi dalam nominal yang sebesar-besarnya. Sebaliknya, pembeli lahan jelas menginginkan ganti kerugian yang serendah-rendahnya.

Idealnya, Pasal 1 angka 2 UU No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum telah mengamanatkan agar pemberian ganti kerugian dilakukan secara layak dan adil kepada pihak yang berhak.

Persoalannya, takaran keadilan bagi pemilik tanah dengan pihak yang hendak membebaskan lahan jelas acapkali berbeda. Akhirnya, kegagalan dalam proses negosiasi soal ganti kerugian inilah yang seringkali mengakibatkan proyek mangkrak lantaran pembebasan lahan terhambat bahkan hingga bertahun-tahun.

“Banyak proyek mangkrak bertahun-tahun karena soal pembebasan lahan ini sangat sulit,” tukas Kabiro Hukum dan Humas Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Aslan Noor, dalam Workshop Hukumonline, (Kendala dan Solusi Pengadaan Tanah serta Mekanisme Pembebasan Lahan), Kamis (12/12).

Sekedar diketahui, objek ganti kerugian dalam suatu pengadaan tanah meliputi tanah itu sendiri, ruang di atas dan di bawah tanah, bangunan pada tanah, tanaman yang tumbuh pada tanah serta benda lain yang berkaitan dengan tanah atau benda lain yang dapat dinilai.

Di samping soal sulitnya penentuan ganti rugi dalam pembebasan lahan, pelaksanaan konsinyasi yang ditolak pengadilan pun masih saja ditemukan. Padahal, Perpres No. 71 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum, telah membuka ruang penitipan ganti kerugian di Pengadilan bilamana ada pihak yang menolak ganti kerugian, pemilik tanah tidak diketahui keberadaannya atau jika objek tanah masih menjadi objek perkara.

Hambatan berujung perseteruan panjang di Pengadilan lantaran tidak dilibatkannya masyarakat pemilik tanah dan terdampak secara aktif dalam kegiatan sosialisasi, konsultasi publik serta persetujuan pengadaan tanah juga menjadi faktor yang justru memperparah lambatnya proses pembebasan lahan.

Dalam praktik di lapangan, Aslan menyebut kegiatan sosialisasi dan konsultasi publik ini seringkali hanya dilakukan demi memenuhi syarat formil belaka. Parahnya, pertemuan hanya berlangsung bersama aparat desa serta kecamatan dan warga yang tidak memiliki tanah di tapak proyek. Lebih aneh lagi, berita acara persetujuan pengadaan tanah telah dibuat tanpa diketahui oleh pemilik tanah.

“Tak heran, sebanyak 78,9% persoalan di pengadilan itu isinya soal tanah semua,” kata Aslan.

Belum tersedianya land banking atau tabungan tanah milik pemerintah disinyalir Aslan turut menjadi salah satu penyebab mangkraknya proyek-proyek pemerintah. Padahal di banyak Negara, kata Aslan, sistem land banking ini sudah banyak diterapkan.

Hasilnya, Tabungan tanah pemerintah ada di mana-mana dan bisa dipakai sewaktu-waktu pemerintah butuh tanah untuk pembangunan. Berbanding terbalik dengan Indonesia yang jika pemerintah membutuhkan lahan, harus disibukkan terlebih dahulu dengan pembebasan lahan.

Untuk diketahui, Maria SW Soemardjono dikutip dari laman djkn.kemenkeumenyebut Bank Tanah sebagai setiap kegiatan pemerintah untuk menyediakan tanah yang akan dialokasikan penggunaannya di kemudian hari mencakup beberapa fungsi:

  1. Penghimpun atau pencadangan tanah (land keeper);
  2. Pengamanan tanah untuk berbagai kebutuhan pembangunan di masa depan (land warrantee);
  3. Pengendali tanah (land purchaser);
  4. Pendistribusian tanah untuk berbagai keperluan pembangunan (land distributor).

Senada dengan Aslan, Partner pada Firma Hukum Akset, Inka Kirana, mengatakan beberapa elemen yang seringkali ia temukan sebagai penghambat keberhasilan suatu proses pengadaan tanah. Selain penolakan/keberatan atas nilai ganti kerugian yang ditawarkan oleh Tim Penilai/Pengadilan Negeri/Mahkamah Agung, di antara yang paling berpengaruh yakni adanya penolakan pemilik hak atas tanah atas rencana pengadaan tanah.

Di samping itu, masalah juga muncul lantaran adanya penguasaan fisik oleh pihak ketiga atas tanah yang ingin dibebaskan, ketidakjelasan status lahan yang akan dibebaskan seperti tanah tidak bersertifikat, terbitnya sertifikat ganda/palsu, adanya sengketa tanah dalam kaitannya dengan pemindahan hak atas tanah hingga adanya klaim dari pihak ketiga mengenai status kepemilikan tanah juga jadi persoalan.

Terlepas dari sekelumit persoalan itu, apasaja mitigasi risiko atas persoalan pengadaan tanah yang telah dilakukan Inka? Pertama, tentunya pihak pengembang perlu melakukan sosialisasi terhadap pemilik tanah serta memastikan seluruh pemilik tanah hadir dalam sosialisasi itu, sehingga kemungkinan sengketa atas hasil sosialisasi (pentetapan ganti rugi dan lokasi) ke depannya dapat dicegah.

Soal ganti kerugian, Inka menyebut perlu adanya pelibatan konsultan atau professional seperti Jasa Penilai Publik yang diikutsertakan dalam panitia untuk mencegah nilai ganti kerugian yang terlalu berbeda antara kehendak pemilik tanah dengan pembeli lahan.

“Opsi lain dalam ganti rugi juga dimungkinkan tidak dalam bentuk uang, melainkan dapat dilakukan melalui pemberian tanah pengganti kepada pemilik tanah yang hendak dibebaskan,” jelas Inka, Kamis (12/13).

Sekadar catatan, berdasarkan Pasal 31 UU No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum, Pihak Penilai yang akan melakukan penilaian secara independen atas harga jual objek tanah ditetapkan oleh Lembaga Pertanahan. Nilai ganti kerugian berdasarkan hasil penilaian Penilai tersebut menjadi dasar musyawarah penetapan ganti kerugian.

Musyawarah untuk menetapkan bentuk dan/atau besarnya ganti kerugian berdasarkan hasil penilaian ganti kerugian tersebut dilakukan antara Lembaga Pertanahan yang melibatkan instansi yang memerlukan tanah dengan pihak yang berhak atas ganti rugi dalam waktu paling lama 30 hari kerja sejak hasil penilaian dari Penilai disampaikan kepada Lembaga Pertanahan.

Untuk menghindari tuntutan dan masalah lanjutan, sambung Inka, penyediaan dana kompensasi sangat penting dilakukan dengan tepat waktu serta sesuai dengan kesepakatan yang telah dicapai. Sedangkan untuk mengantisipasi pembebasan lahan yang pemiliknya tidak jelas atau lahan yang masih dalam sengketa maka kerjasama dengan pemerintah tingkat daerah setempat (Kecamatan, Kelurahan, RT dan RW) tentu diperlukan.

Terlebih lagi, karena soal pengadaan tanah memang menjadi tanggungjawab pemerintah maka sudah sepatutnya pemerintah terlibat, apalagi pada akhirnya hasil dari pembebasan lahan itu juga akan menjadi asset pemerintah. “Lahirnya Perpres 148/2015 itu sebetulnya untuk mengakomodasi hal ini,” ujar Inka.

Dalam Perpres No.148 Tahun 2015 tentang Perubahan Keempat atas Perpres Nomor 71 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum, memang keterlibatan unsur pemerintah dalam proses pengadaan tanah cukup kuat.

Perpres a quo menegaskan bahwa gubernur melaksanakan tahapan kegiatan persiapan pengadaan tanah setelah menerima dokumen perencanaan pengadaan tanah dari instansi yang memerlukan. Dalam melaksanakan kegiatan tersebut, gubernur membentuk tim persiapan paling lama dua hari, yang dalam aturan lama 10 hari sejak dokumen perencanaan pengadaan tanah diterima secara resmi oleh gubernur.

Selain membentuk tim persiapan, Penetapan atas lokasi pembangunan untuk kepentingan umum ditetapkan dengan keputusan gubernur. SK Gubernur itulah yang dipergunakan sebagai izin untuk Pengadaan Tanah, perubahan penggunaan tanah, dan peralihan hak atas tanah dalam Pengadaan Tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum.

Jika muncul sengketa dalam penetapan lokasi ini, kata Inka, maka berdasarkanPerma No. 2 Tahun 2016 tentang Pedoman Beracara dalam Sengketa Penetapan Lokasi Pembangunan untuk Kepentingan Umum pada Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN), gugatan melawan Gubernur atau Bupati/Walikota yang mendapat delegasi dari Gubernur dapat diajukan pada PTUN paling lambat 30 hari sejak diumumkannya penetapan lokasi. Adapun upaya hukum ada Putusan PTUN itu dapat ditempuh melalui upaya kasasi maksimal 7 hari sejak keluarnya putusan PTUN.

Sumber: hukumonline.com