menyoal-aturan-jual-beli-ketenagalistrikan-yang-dianggap-rugikan-investor

Menyoal Aturan Jual Beli Ketenagalistrikan yang Dianggap Rugikan Investor

13 Mei 2019       551        Admin

Kementerian ESDM dianggap salah memahami putusan MK sehingga menghambat investasi sektor ketenagalistrikan.

Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) telah mengeluarkan aturan mengenai ketenagalistrikan dari swasta (indpendent power producer/IPP) kepada PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) Persero.

Berbagai aturan ketenagalistrikan ini tercantum dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 10/2017 tentang Pokok-pokok Dalam Perjanjian Jual Beli Tenaga Listrik (Telah disempurnakan dalam Permen ESDM 49/2017) dan Permen ESDM Nomor 50/2017 (revisi kedua Permen ESDM 12/2017) tentang Pemanfaatan Sumber Energi Baru Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik.

Inti dari aturan tersebut memberi kesempatan kepada pihak swasta untuk terlibat dalam penyediaan tenaga listrik. Selain itu, aturan ini juga sebagai rambu-rambu dalam jual beli ketenagalistrikan antara IPP-PLN yang lebih transparan berdasarkan hak dan kewajiban masing-masing.

Dalam Permen ESDM 49/2017 (penyempurnaan Permen ESDM 10/2017) dan Permen ESDM Nomor 50/2017 (revisi kedua Permen ESDM 12/2017) mengatur persetujuan harga, dimana semua pembelian tenaga listrik dari pembangkit listrik termasuk sumber energi terbarukan wajib mendapatkan persetujuan dari Menteri ESDM dengan menggunakan pola kerja sama Build, Own, Operate, and Transfer (BOOT). Permen ESDM 50/2017 memberi pengecualian dalam pola kerja sama tersebut pada PLTSa (Sampah).

Sayangnya, aturan-aturan tersebut justru dianggap tidak menarik bagi investor untuk menanamkan modalnya pada sektor ketenagalistrikan. Skema jual beli BOOT tersebut justru merugikan investor karena aset pembangkit listrik akan berpindah tangan menjadi milik negara setelah berproduksi jangka waktu maksimal 30 tahun.

“Implementasi BOOT yang terdapat dalam Peraturan Menteri ESDM ini menghambat investasi karena tidak sesuai dengan semangat untuk penyediaan energi nasional. Tanah disiapkan investor, bangunan, sarana dan pra sarana juga investor siapkan. Ada investasi besar di sini,” jelas Pengamat Energi dan Direktur Eksekutif Kolegium Jurist Institut (KJI), Ahmad Redi dalam acara forum diskusi “Kepastian Hukum Pengusahaan Ketenagalistrikan Pasca-Putusan MK Tentang Pengujian UU Nomor 30 Tahun 2009 Tentang Ketangalistrikan” di Jakarta, Rabu (8/5).

(Baca: Aturan PLTS Atap Terbit untuk Hadapi Era Electricity 4.0)

Redi menjelaskan kemunculan skema BOOT ini berhubungan dengan putusan Mahkamah Konstitusi bernomor 111/PUU-XIII/2015 sehubungan uji materi Undang Undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan.

MK menyatakan konstitusionalitas Pasal 10 ayat (2) dan Pasal 11 ayat (1) UU No. 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan terkait penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum. Intinya kedua pasal tersebut dinyatakan inkonstitusional bersyarat sepanjang usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum tetap dalam kontrol atau kendali negara.

Dia menjelaskan, putusan MK tersebut  menyatakan tidak terdapat larangan bagi keterlibatan pihak swasta dalam penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum sesuai dengan Pasal 11 ayat (1) UU No. 30/2009. Asalkan, sepanjang perjanjian jual beli listrik (PJBL) masih berada dalam batas-batas penguasaan negara. Kemudian, pemerintah juga masih memegang kendali terhadap keterlibatan pihak swasta.

“Jika keterlibatan swasta saja, baik nasional maupun asing, tidak dilarang sepanjang masih di bawah penguasaan negara, maka tentu menjadi tidak logis apabila keterlibatan masyarakat secara swadaya atau melalui koperasi dinyatakan dilarang,” jelas Redi.

Namun, Redi menilai implementasi putusan MK tersebut oleh Kementerian ESDM dianggap keliru. Menurutnya, pengendalian negara tidak dapat dilakukan dengan menerapkan skema BOOT karena menimbulkan rasa tidak adil bagi investor. Terlebih lagi, pemerintah mematok harga beli pembangkit listrik yang dibangun investor.

Menurutnya, bentuk pengendalian negara pada sektor ketenagalistrikan ini dapat dilakukan dengan cara penetapan tarif dasar listrik (TDL) dan kewajiban swasta menjual listrik kepada PLN. 

“Putusan MK tersebut implementasinya dimaknai KESDM agak berbeda sehingga menimbulkan ketidakpastian. Elektrifikasi dulu bisa dimiliki swasta sekarang diatur dengan BOOT. Dua permen (Permen 10/2017 dan Permen 50/2019) mengharuskan ada skema BOOT. Dalam konteks hukum dan bisnis investor jadi kurang tertarik,” jelas Redi.

Sumber : Hukumonline.com