peluang-evolusi-keempat-penyelesaian-sengketa-pemilu

Peluang Evolusi Keempat Penyelesaian Sengketa Pemilu

15 November 2018       625        Admin

Menelisik sejarah penyelesaian sengketa proses pemilu di Indonesia, anggota Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) Fritz Edward Siregar menyimpulkan sudah tiga kali terjadi evolusi. Saat ini, ia memprediksi sedang terjadi proses menuju evolusi keempat. Menariknya, evolusi keempat semakin menjauhkan proses itu dari peran Mahkamah Agung. Mungkinkah evolusi keempat itu benar-benar terjadi?

Fritz menyampaikan pandangan tentang evolusi penyelesaian sengketa itu saat menjadi pemantik diskusi kelompok panel dalam Konferensi Hukum Tata Negara ke-5 yang berlangsung di Batusangkar, Sumatera Barat, Sabtu (10/11). Konferensi ini adalah forum pertemuan antara akademisi dan praktisi beserta pejabar pemerintah yang secara khusus mengangkat tema pemilihan umum. Penyelesaian sengketa menjadi salah satu subtema yang dibahas intens.

Evolusi pertama terjadi ketika Surat Keputusan (SK) Komisi Pemilihan Umum harus digugat ke Pengadilan Tata Usaha Negara. Jika salah satu pihak tak terima, maka prosesnya dilanjutkan ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara. Jika masih tetap ada pihak yang tak terima, penyelesaian sengketa proses pemilu bisa dibawa ke Mahkamah Agung.

Evolusi kedua terjadi ketika UU Pilkada lahir. Keberatan terhadap SK KPU bisa diajukan ke Bawaslu. Dari Bawaslu prosesnya masih bisa dilanjutkan ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara, untuk selanjutnya dibawa ke Mahkamah Agung.

Evolusi ketiga terjadi setelah UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum lahir. Pihak yang keberatan bisa mengajukan SK KPU ke Bawaslu. Pasal 469 UU Pemilu menyatakan putusan Bawaslu mengenai penyelesaian sengketa proses pemilu merupakan putusan yang bersifat final dan mengikat, kecuali putusan terhadap sengketa proses pemilu yang berkaitan dengan tiga hal. Pertama, verifikasi partai politik peserta pemilu. Kedua, penetapan daftar calon tetap anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota. Ketiga, penetapan pasangan calon. Jika salah satu dari tiga pengecualian ini terjadi maka pihak yang tak menerima putusan Bawaslu, dapat mengajukan upaya hukum ke Pengadilan Tata Usaha Negara.

Pasal 471 ayat (7) UU Pemilu menegaskan bahwa putusan PTUN sebagaimana dimaksud ayat (6) bersifat final dan mengikat, serta tidak dapat dilakukan upaya hukum lain. Di sini, upaya hukum ke Mahkamah Agung ditiadakan. “Jadi, sengketanya berakhir di PTUN,” ujar Fritz dalam diskusi.

Melihat tiga kali evolusi, Fritz mengajukan pertanyaan tadi: mungkinkah terjadi evolusi keempat? Salah satu yang menggugah keyakinan Fritz atas munculnya evolusi keempat adalah semakin mengecilnya peran Mahkamah Agung, dan semakin sentralnya posisi Bawaslu dalam penyelesaian sengketa. Bawaslu bukan saja melakukan mediasi, tetapi ajudikasi. Tugas melakukan ajudikasi itu ditegaskan dalam Pasal 94 UU Pemilu. Dalam melakukan penindakan sengketa proses pemilu, Bawaslu bertugas (a) menerima permohonan penyelesaian sengketa proses pemilu; (b) memverifikasi secara formal dan material permohonan penyelesaian sengketa proses pemilu; (c) melakukan mediasi antarpihak yang bersengketa; (d) melakukan proses ajudikasi sengketa proses pemilu; dan € memutus penyelesaian sengketa pemilu. Dari tugas dan kewenangan yang diberikan Undang-Undang, pada hakikatnya Bawaslu menjalankan fungsi sebagai peradilan pemilu. Cuma, posisi Bawaslu bukan salah satu pengadilan khusus di bawah Mahkamah Agung.

Jangka waktu

Berkaitan dengan penyelesaian sengketa hasil pemilu, hakim konstitusi Manahan MP Sitompul mengingatkan pentingnya memperhatikan jangka waktu setiap tahapan penyelesaian. Ada filosofis penentuan setiap jangka waktu, termasuk penggunaan kata ‘hari’ yang merujuk pada hitungan hari kalender, dan ‘hari kerja’ yang merujuk pada hari kerja Senin-Jum’at.

Bahkan ada yang menggunakan hitungan waktu. Misalnya, ketika terjadi perselisihan penetapan perolehan suara hasil pemilu anggota DPR, DPD dan DPRD secara nasional. Normatifnya, peserta pemilu yang dirugikan dapat mengajukan permohonan ke Mahkamah Konstitusi paling lama 3 x 24 jam sejak diumumkan penetapan perolehan suara hasil pemilu. Jika permohonannya belum lengkap, UU Pemilu memberikan waktu kepada pemohon 3 x 24 jam lagi untuk memperbaiki permohonan.

Penggunaan kata ‘hari’ (kalender) ditemukan pada Pasal  475 ayat (1) UU Pemilu. Dalam hal terjadi perselisihan penetapan perolehan suara hasil pemilu presiden dan wakil presiden, pasangan calon dapat mengajukan keberatan ke Mahkamah Konstitusi dalam waktu paling lama 3 hari setelah penetapan hasil pemilu itu oleh Komisi Pemilihan Umum. Mahkamah Konstitusi memutus perselisihan yang timbul akibat keberatan paling lama 14 hari sejak diterimanya permohonan keberatan oleh Mahkamah Konstitusi.

Berkaitan dengan jangka waktu hari ini, salah satu putusan yang menarik adalah putusan Mahkamah Konstitusi No. 31/PUU-XVI/2018. Kata ‘hari’ dalam Pasal 468 ayat (2) UU Pemilu dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai ‘hari kerja’.

Source: https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5beb6a7e710b0/peluang-evolusi-keempat-penyelesaian-sengketa-pemilu