
Pemerintah Ingatkan Penghapusan Diskriminasi Ketenagakerjaan
11 Maret 2019 536 Admin
Untuk mencegah terjadinya diskriminasi di tempat kerja bisa dilakukan antara lain melalui Peraturan Perusahaan (PP) atau Perjanjian Kerja Bersama (PKB).
Konstitusi mengamanatkan setiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan menegaskan setiap tenaga kerja memiliki kesempatan yang sama tanpa diskriminasi untuk memperoleh pekerjaan. Setiap pekerja/buruh berhak memperoleh perlakuan yang sama tanpa diskriminasi dari pengusaha.
Tapi praktiknya tidak mudah untuk mewujudkan harapan itu. Kasubdit Kesetaraan Syarat Kerja Kementerian Ketenagakerjaan, Retna Pratiwi mengatakan perlu dialog antar pemangku kepentingan untuk membangun hubungan yang saling bersinergi dan terintegrasi untuk mengoptimalkan penerapan kesempatan dan perlakuan yang sama dalam pekerjaan. Hasilnya akan digunakan sebagai bahan penyusunan kebijakan.
Retna menyebut pemerintah butuh dukungan dan komitmen kuat dari seluruh pemangku kepentingan seperti pemerintah daerah, pekerja/buruh, serikat pekerja/serikat buruh, dan organisasi pengusaha untuk mencegah ketidaksetaraan dan diskriminasi di tempat kerja. Menurutnya, salah satu aspek pembangunan hubungan industrial yaitu penerapan kesempatan kerja dan perlakuan sama tanpa diskriminasi dalam pekerjaan.
“Kementerian Ketenagakerjaan telah menempuh upaya penguatan kualitas syarat kerja yang nondiskriminatif di tempat kerja yang dituangkan melalui PKB di perusahaan,” kata Retna saat dikonfirmasi, Sabtu (9/3/2019). Baca Juga: Menaker Minta Pengusaha Korea Jaga Hubungan Industrial
Dia menjelaskan diskriminasi merupakan segala bentuk pembedaan, pengabaian, pengistimewaan atau pilih kasih yang dilakukan berdasarkan ras, warna kulit, jenis kelamin, agama, paham politik, pencabutan (ekstraksi) secara nasional atau asal-usul sosial dan kondisi fisik (penyandang disabilitas dan HIV/AIDS) yang menghambat kesetaraan kesempatan atau perlakuan dalam pekerjaan. Perlakuan tanpa diskriminasi ini tertuang dalam Pasal 5 dan 6 UU Ketenagakerjaan.
Kepala Dinas Ketenagakerjaan dan Transmigrasi Provinsi Banten, Al Hamidi, mengatakan mewujudkan kesetaraan dan perlakuan sama dalam pekerjaan, segala kebijakan dan pelaksanaannya harus ditujukan untuk menghapus diskriminasi dalam dunia kerja. Hal ini selaras dengan tujuan Konvensi ILO No.100 tentang Pengupahan, pada intinya upah yang sama bagi pekerja pria dan perempuan untuk pekerjaan yang nilainya sama.
Konvensi ILO NO.100 itu telah diratifikasi melalui UU No.80 Tahun 1957 dan Konvensi ILO No.111 tentang Diskriminasi dalam Pekerjaan dan Jabatan melalui UU No.21 Tahun 1999. "Salah satu pilar untuk mewujudkan pekerjaan yang layak dengan memperhatikan hak-hak mendasar di tempat kerja. Salah satunya pencegahan terjadinya diskriminasi di tempat kerja, " ujar Al Hamidi.
Al Hamidi berpendapat untuk mencegah diskriminasi di tempat kerja harus dimulai sejak rekrutmen, dan ketika bekerja melalui pengaturan dalam PP atau PKB. Segala ketentuan yang diatur dalam PP atau PKB harus mengantisipasi potensi diskriminasi. Misalnya, tidak ada perbedaan antara pekerja pria dan perempuan pada setiap jabatan di perusahaan.
5 catatan untuk pemerintah
Catatan Tahunan Komnas Perempuan 2019 menyebutkan jumlah pengaduan kasus kekerasan terhadap perempuan pada tahun 2018 meningkat 14 persen dari tahun lalu. Sebagian kekerasan terhadap perempuan terjadi di ranah publik seperti di tempat kerja. Jenis kekerasan seksual tertinggi yakni pencabulan/perbuatan cabul. Tingginya angka pencabulan ini karena keterbatasan KUHP menjangkau bentuk perkosaan.
Akibatnya, kasus perkosaan yang dilaporkan ke polisi dinilai tidak memenuhi unsur perkosaan sebagaimana diatur KUHP. Namun, aparat kepolisian menempatkan kasus ini sebagai perbuatan cabul agar proses hukumnya tetap berlanjut. Komnas Perempuan mengingatkan perkosaan dan perbuatan cabul merupakan tindakan yang berbeda. Jika keduanya disamakan maka berdampak pada terlanggarnya rasa keadilan korban.
Sejumlah serikat buruh dan organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam International Women’s Day (IWD) 2019, menuntut pemerintah dan DPR untuk mengesahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual untuk melindungi perempuan dan anak dari tindakan kekerasan seksual serta menjamin pemulihan dan restitusi bagi korban. Kemudian mendesak DPR dan pemerintah untuk merevisi UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan menaikan batas usia perkawinan sebagai upaya menghapus perkawinan anak.
“Perempuan dan masyarakat marginal masih menghadapi situasi menyempitnya ruang demokrasi, pemiskinan, ketimpangan social, dan maraknya kriminalisasi serta kekerasan seksual. Ini adalah momentum politik bagi perempuan untuk menyuarakan agenda politik perempuan independen agar terwujud ruang hidup yang demokratis, sejahtera, setara dan bebas dari kekerasan,” ujar Komite IWD 2019, Mutiara Ika Pratiwi, dalam keterangannya di Jakarta, Jumat (8/3/2019).
Untuk bidang ketenagakerjaan, IWD 2019 mendesak pemerintah melakukan sedikitnya 5 hal. Pertama, mendukung pengesahan rancangan Konvensi ILO tentang Penghapusan dan Pencegahan Kekerasan Berbasis Gender di Tempat Kerja pada Sidang Konferensi Pekerja Internasional (PBB, Jenewa). Kedua,mencabut PP No.78 Tahun 2015 tentang Pengupahan yang tidak berpihak pada buruh perempuan.
Ketiga, segera mengesahkan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga dan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan tentang Perlindungan Pekerja Rumahan.Keempat, memastikan pelaksanaan UU No.18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia. Kelima, menghapus sistem kerja kontrak, outsourcing, magang, dan sistem kerja lainnya yang tidak melindungi kesejahteraan buruh.
Sumber : Hukumonline.com