
Pentingnya Kehadiran Women Peacekeeper di Negara Pascakonflik
29 April 2019 587 Admin
Dapat menjadi role model bagi perempuan di daerah konflik bahwa sesungguhnya mereka juga bisa berbuat lebih banyak.
Situasi sebuah negara pasca terjadinya konflik baik sipil apalagi militer sangat memprihatinkan. Salah satu yang bisa disebutkan adalah ketiadaannya hukum positif nasional yang berlaku di negara tersebut. Hal ini dikarenakan institusi hukum dan juga pemerintahan yang tidak bisa berjalan secara normal. Dalam situasi ini, biasanya peran lembaga internasional seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) diperlukan untuk hadir.
Dalam menangani problem seperti ini, Dewan Keamanan PBB bersama pasukan penjaga perdamaian kerap hadir ke negara-negara yang sedang berkonflik tersebut. Di mana salah satu tugasnya adalah memberikan perlindungan terhadap warga sipil di negara tempat konflik berlangsung. “Dalam situasi ini, kehadiran women peacekeeping and securitydibutuhkan,” ujar peneliti Central for Strategic and International Studies (CSIS), Fitriani, dalam sebuah diskusi di Jakarta, Rabu (23/4).
Menurut Fitriani, proses pemulihan terhadap korban sipil di sebuah negara pascakonflik sangat membutuhkan peran seorang tentara perempuan dalam misi menjaga perdamaian. Karena warga sipil yang biasanya membutuhkan penanganan khusus di wilayah bekas pemukiman di negara yang sedang ataupun baru selesai terjadi konflik adalah perempuan, dan tentu saja anak-anak. Faktor trauma yang ditinggalkan oleh konflik seringkali lebih dalam dirasakan oleh perempuan dan anak-anak di daerah bekas konflik.
Proses penerimaan perempuan korban konflik dirasakan lebih mudah kepada tentara penjaga perdamaian yang juga sesama perempuan karena beberapa faktor. Selain mereka merasa akan jauh lebih aman berhadapan dengan sesama perempuan, faktor trauma akan konflik juga tidak terlalu menjadi hambatan saat berhadapan dengan tentara perempuan. “Karena bayangan mereka kalau laki-laki (dalam situasi negara yang sedang berkonflik) adalah yang ikut berperang memegang senjata,” terang Fitri.
Direktur Kerjasama Internasional dan Perlucutan Senjata & Ditjen Kerjasama Multilateral, Kemeterian Luar Negeri, Grata Endah Werdaningtyas mengungkapkan, peran tentara perempuan dalam misi menjaga perdamaian tidak hanya menghubungkan pasukan penjaga perdamaian dengan komunitas lokal, tapi lebih dari itu dapat menjadi role model bagi perempuan di daerah konflik bahwa sesungguhnya mereka juga bisa berbuat lebih banyak.
“Dia melihat ada perempuan berseragam atau bahkan perempuan memimpin pasukan inikan role model, oh ternyata perempuan bisa,” ujar Grata kepada hukumonline.
Baca:
- Juru Bicara MA: Hakim Bisa Gunakan Resolusi DK PBB di Peradilan, Asalkan..
- Dirjen HPI Kemenlu: Resolusi DK PBB Mengikat Hukum Internasional
- Terpilih Menjadi Anggota Tidak Tetap DK PBB, Koalisi Ingatkan PR Indonesia
Terkait peningkatan jumlah tentara perempuan dari Indonesia, Grata menjelaskan hal ini sudah menjadi komitmen dari Indonesia sebagai bagian dari masyarakat dunia yang ingin ikut menjaga perdamaian. Namun untuk merealisasikan hal tersebut akan berjalan beriringan dengan penyempurnaan proses di Indonesia sendiri. Harus diakui, sektor keamanan bukan merupakan hal menarik bagi perempuan pada umumnya. Sehingga proses rekrutmen tentara perempuan dari segi kuantitas masih menjadi pekerjaan rumah. “Masih dilihat sebagai pekerjaan yang kental aspek maskulinnya.”
Tantangan lainnya adalah bagaimana menyediakan lingkungan kerja yang lebih bersahabat terhadap perempuan. Kebutuhan ini semakin lebih mendesak apabila tentara perempuan akan ditugaskan ke dalam pasukan penjaga perdamaian. Dari sisi waktu penugasan misalnya, waktu satu tahun penugasan sebagai pasukan penjaga perdamaian merupakan persoalan tersendiri bagi tentara perempuan. Apalagi yang berstatus sebagi ibu. Untuk itu perlu penyesuaian terhadap tentara perempuan yang akan ditugaskan dalam misi perdamaian. “Perempuan punya role yang berbeda dengan laki-laki di masyarakat yah.
Grata juga mengungkap, kehadiran tentara perempuan di tengah kontingen pasukan penjaga perdamaian yang mayoritas laki-laki juga memberikan efek berbeda. Dengan kehadiran tentara perempuan, tentara laki-laki akan lebih berhati-hati dalam berperilaku dan lebih menjaga kode etik selama bertugas. Hal ini menjadi perhatian, karena memang tidak sedikit kasus pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh pasukan penjaga perdamaian saat bertugas.
Meskipun seiring berjalannya waktu, hal tersebut tidak pernah terjadi lagi. Ada perbaikan proses rekrutmen disertai pelatihan-pelatihan dalam rangka mempersiapkan pasukan yang akan dikirimkan dalam kontingen misi perdamaian. Untuk Indonesia sendiri, sangat minim persoalan tersebut terjadi. Sejak pertama kali Indonesia mengirim pasukan perdamaian pada 1957, hanya tiga kasus yang terjadi. Menurut Grata, catatan pasukan Indonesia sangat bagus bahkan jika dibandingkan dari negara-negara yang lain.
Hal ini meninggalkan kesan positif. Pasukan penjaga perdamaian dari Indonesia sangat mampu merefleksikan budaya Indonesia saat berinteraksi dengan komunitas lokal saat bertugas. Latar belakang sampai terjadinya tindakan yang berlawanan dari misi menjaga perdamaian yang terjadi tersebut kemudian oleh DK PBB mendapat perhatian serius sehingga dilakukan evaluasi proses rekrutmen terhadap calon tentara yang akan ditugaskan ke misi menjaga perdamaian sehingga saat ini, semakin berkurang.
“Dulu belum memperhatikan nilai-nilai HAM yang perlu ditanamkan sebelum mereka dikirim,” ujar Fitriani yang pernah melakukan penelitian langsung ke daerah konflik.
Sumber : Hukumonline.com