
Utang Luar Negeri Sudah Lampu Kuning, Ini Gambaran dan Dampaknya
20 Desember 2018 1086 Admin
TEMPO.CO, Jakarta - Pemerintah dan sektor swasta diminta mewaspadai peningkatan utang luar negeri Indonesia. Hingga akhir Oktober lalu, total utang luar negeri mencapai US$ 360,5 miliar atau Rp 5.256 triliun (asumsi kurs rupiah 14.500 per dolar AS)--terdiri atas utang pemerintah dan bank sentral, serta utang swasta. Sampai Oktober tahun ini, utang luar negeri tumbuh 5,3 persen dibanding periode yang sama tahun lalu.
Baca Juga: 2019, Pemerintah Diminta Waspadai Jatuh Tempo Utang Luar Negeri
“Posisi saat ini sudah lampu kuning,” ujar ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Bhima Yudhistira Adhinegara, kepada Tempo, Rabu 19 Desember 2018.
Ekonom Bank Danamon, Wisnu Wardana, mengatakan total utang luar negeri pemerintah dan swasta yang jatuh tempo pada tahun depan sebesar US$ 54 miliar. Dari jumlah itu, US$ 26 miliar merupakan utang non-afiliasi. Artinya, utang ini harus dibayar atau di-roll over (diperbarui) dengan utang baru.
Utang yang jatuh tempo, kata Wisnu, jika tak diantisipasi akan membebani sektor finansial, khususnya neraca pembayaran. Selain itu, yang perlu diwaspadai adalah ketepatan perhitungan pembayaran utang, karena berdampak terhadap likuiditas dan nilai tukar. "Apalagi saat ini neraca pembayaran masih tertekan akibat defisit neraca transaksi berjalan (CAD) yang melebar,” tuturnya.
Baca juga: Sri Mulyani: 10 Proyek Infrastruktur Dibangun Tanpa Utang di 2019
Namun Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Haryadi Sukamdani, menyatakan tak ada yang perlu dikhawatirkan dari utang luar negeri. "Risiko pinjaman swasta ditanggung sendiri, tidak akan melebar menjadi risiko sistemik," ujarnya.
Ekonom Bank CIMB Niaga, Adrian Panggabean, mendorong pemerintah mengurangi utang luar negeri dengan memobilisasi dana tabungan dalam negeri. “Kalau ini dilakukan, maka pembiayaan dalam negeri tidak lagi mengandalkan pinjaman luar negeri,” ujarnya, kemarin.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memastikan utang pemerintah digunakan untuk belanja negara yang bersifat penting. "Kalau ekonomi tumbuh tinggi 5 persen, sedangkan kami pinjam hanya 2 persen, pasti kami bayar kembali," ujarnya.
Baca Juga: RI Disebut Hidup Dari Utang, Luhut: Kita Justru Paling Rendah
Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo menegaskan pentingnya menjaga CAD di bawah level aman 3 persen. Dalam pertemuan tahunan BI akhir bulan lalu, Perry mengingatkan bahwa gejolak perekonomian di Indonesia sering berkaitan dengan kebijakan moneter dan fiskal yang tidak pruden, ekspor yang naik-turun, serta tidak terkendalinya sektor properti dan utang luar negeri. “Stabilitas dan ketahanan perekonomian perlu terus diperkuat,” kata dia.
GHOIDA RAHMAH | LARISSA HUDA | YOHANES PASKALIS | DIAS PRASONGKO
Sumber: bisnis.tempo.co